TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut baik rencana Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI yang menguasai dan mengawasi aset-aset eks debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia di dalam maupun di luar negeri.
Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas mengatakan keputusan itu sangat tepat karena pemerintah telah menanggung beban untuk membayar utang pokok dan bunga selama 22 tahun.
"Terlebih negara kita saat ini sedang menghadapi masalah berupa pandemic Covid-19 yang telah berdampak cukup besar terhadap kehidupan perekonomian nasional, di mana utang kita dalam beberapa tahun terakhir ini tampak semakin meningkat bahkan sudah akan mencapai Rp 7.000 trilliun," kata Anwar dalam keterangan tertulisnya, Minggu (29/8/2021).
Anwar menilai sikap tegas dan keras pemerintah terhadap obligor BLBI mutlak harus dilakukan dan ditegakkan.
Ia, mewakili MUI, menyatakan mendukung sikap Menkopolhukam dan Menteri Keuangan yang akan menagih para penunggak dana BLBI tersebut.
"Penagihannya dilakukan hingga ke anak cucu mereka karena tidak mustahil ada usaha-usaha mereka itu yang diteruskan oleh para keturunannya," tuturnya.
Kurang Transparan
Pada bagian lain, peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola menilai Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI kurang transparan.
Menurutnya, Satgas hanya menyoroti beberapa nama saja dari keseluruhan 48 obligor dan debitur BLBI, satu di antaranya yakni Tommy Soeharto.
Baca juga: Peneliti: Satgas BLBI Kurang Transparan, Belum Ungkap Keseluruhan 48 Obligor
"Saya tidak bisa berkomentar apakah hal tersebut politis. Namun, kami kritik sejak awal, memang Satgas (BLBI) selama ini tidak cukup transparan kepada publik perihal informasi rincian dari ke-48 obligor ini," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribunnews, belum lama ini.
Ia menilai Satgas juga kurang transparan dari sisi langkah strategis yang akan mereka tempuh dalam proses penagihan hingga perampasan aset BLBI.
"Terutama, juga ketika para obligor gagal bayar," kata Alvin.
Ia menilai sulit membayangkan proses ambil alih terhadap aset BLBI akan berjalan cepat hingga 2023. Utamanya, negara belum memiliki Undang-Undang Perampasan Aset.
"Selanjutnya, minim MLA (mutual legal assistance) dengan negara lain serta jalur perdata yang ditempuh pemerintah saat ini amat bergantung sepenuhnya terhadap itikad baik para obligor. Jadi, seharusnya penerimaan negara, terutama dalam hal ini anggaran PEN (pemulihan ekonomi nasional) jangan bergantung sama sekali pada aset BLBI," ujarnya.
Tujuh Turunan
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng mengatakan, kerugian negara akibat kasus BLBI secara keseluruhan besar nilainya.
Angka kerugian negara mencapai satu setengah kali Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di periode 1997 hingga 1998.
Dia mengungkapkan, besarnya jumlah kerugian jika dinilai dengan uang sekarang adalah menjadi sekira Rp 3.000 triliun.
"Lalu, BLBI ini lah yang membentuk kelas atau kelompok paling kaya di Republik Indonesia saat ini. Di mana, uang mereka tidak akan habis sampai tujuh turunan hasil BLBI," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribunnews, belum lama ini.
Salamuddin menilai pelunasan utang obligor dan debitur BLBI sebesar Rp 110 triliun tentunya menolong dari sisi anggaran negara.
"Uang sebesar itu sangatlah besar. Terutama, jika benar-benar bisa direalisasikan," katanya.
Namun, pertanyaannya adalah bagaimana cara pemerintah untuk mengembalikan uang itu tanpa penyelesaian secara hukum.
"Kalau diminta serahkan secara sukarela, pasti juga membutuhkan status penyelesaian hukum. Sebab kalau tidak, ini akan menimbulkan ketidakjelasan di masa akan datang, mengingat uang itu sudah beranak pinak," ujarnya. (Tribun Network/Rizki Sandi Saputra/Yanuar Riezqi Yovanda/sam)