Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian BUMN melihat potensi bisnis asuransi di Indonesia masih sangat besar, namun tingkat literasi masyarakat terhadap produk asurasi masih rendah.
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, rendahnya literasi asuransi menjadi salah satu akar permasalahan di industri asuransi. Data OJK 2019 menyatakan, tingkat literasi asuransi masyarakat baru mencapai 19,4 persen.
"Memang kami melihat industri asuransi industri yang kompleks karena produk asuransi bukan produk yang mudah dipahami nasabah. Sehingga literasinya harus lebih dalam lagi, karena yang jadi permasalahan utama kalau nasabah tidak memahami apa yang mereka beli disitulah terjadi akar masalahnya," ujar Kartika, Jumat (10/9/2021).
Selain literasi produk asuransi yang rendah, masyarakat juga tidak paham untuk mengukur tingkat kesehatan perusahaan asuransi.
Baca juga: AAJI: Penetrasi Asuransi Jiwa Masih Rendah, Hanya 6,5 Persen dari Total Penduduk Indonesia
Menurut Tiko sapaan akrab Kartika, kemampuan kita untuk bisa membaca kesehatan perusahaan asuransi sangat tergantung transparansi dan akuntansi dari pengawas dalam hal ini OJK.
Baca juga: AAJI: Klaim Asuransi Covid-19 Masih Akan Meningkat, Hingga Juni 2021 Sudah Rp 3,74 Triliun
"Memang ada RBC tapi itu sangat gelondongan, jadi tidak melihat kekuatan asuransi secara detail mulai dari aset, liability, manajemennya, kelayakan investasinya," ujarnya.
Baca juga: Industri Asuransi Tumbuh 11 Persen di Tengah Pandemi Covid-19
"Di situ mulai muncul permasalahan karena nasabah yang membeli produk asuransi, tanpa memahami produk itu dan kesehatan perusahaan itu juga," papar Tiko.
Dia mengatakan, industri ini juga mengalami misselling karena asuransi diposisikan sebagai investasi, lebih dari 90 persen portofolio asuransi jiwa sifatnya investasi, bukan sebagai proteksi.
Industri asuransi juga menghadapi kendala low barrier to entry yang menyebabkan kompetisi yang tidak sehat, belum diterapkannya standar global sebagai acuan baku.
Tantangan lainnya adalah tingkat pengawasan yang belum sematang pengawasan perbankan, dan tingkat kompetensi teknis yang belum merata, juga menjadi permasalahan sendiri di industri asuransi.
"Saat membedah Jiwasraya kami kaget sekali karena muncul produk-produk manfaat pasti yang mempunyai guaranteed return 14 persen, 12 persen. Itu tidak akan bisa tercapai, dan nilai tunainya tergerus terus karena selisih antara nilai tunai dan future klaim makin mengecil," paparnya.
Tiko menekankan, perlu ada reformasi pengaturan dan pengawasan di industri asuransi.
"Saat pengaturan dan pengawasan perbankan bergerak cepat, di asuransi memang secara global standard tidak terjadi perubahan signifikan. Transparansi dan penyajian kesehatan asuransi tidak setransparan dan predictable perbankan," ucapnya.
Kementerian BUMN membentuk holding asuransi dan penjaminan yakni Indonesia Financial Group (IFG) yang beranggotakan PT Jasa Raharja, PT Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo), PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), PT Jasa Asuransi Indonesia (Jasindo), PT Bahana Sekuritas, PT Bahana TCW Investment Management, PT Bahana Artha Ventura, PT Bahana Kapital Investa dan PT Graha Niaga Tata Utama.
Tiko mengatakan, pembentukan model bisnis IFG berkaca pada asuransi asing, di mana mereka melakukan dua lapis atau layer governance guna memenuhi check and balance.
"Kami mendesain dari awal bahwa kewenangan holding cukup dalam. Produk pricing, manajemen risiko, aset, dan liabilitas juga dimonitor oleh holding, ada double check seperti asuransi asing," paparnya.