Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pandemi Covid-19 dinilai dapat menjadi momentum untuk melakukan pemetaan dan penguatan di industri kesehatan nasional untuk mengantisipasi laju kebutuhan masyarakat di masa depan, terutama penambahan jumlah rumah sakit, dokter dan tenaga kesehatan.
Chairman PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO) John Riady mengungkapkan industri kesehatan merupakan salah satu sektor vital yang harus terus dikembangkan di Tanah Air. Momen pandemi kali ini selayaknya jadi bahan evaluasi ataupun pemetaan persoalan di industri kesehatan dan menguatkan ekosistemnya.
Hal itu sesuai dengan usulan Presiden Joko Widodo dalam acara Global Covid-19 Summit pada Rabu, 22 September 2021.
Pada kegiatan yang digelar secara virtual tersebut, Presiden mengungkapkan agar negara berkembang harus diberdayakan menjadi bagian dari solusi penguatan sistem kesehatan dunia.
Sebelumnya Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) memuji langkah Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan program vaksinasi Covid-19 yang hingga kini terus berjalan secara nasional.
Selain WHO, Bank Dunia juga memberikan apresiasi karena selama pandemi Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat responsif melakukan berbagai strategi penanganan dan pengendalian, terutama terkait vaksin. Akan tetapi, terdapat persoalan nyata yang disorot Bank Dunia, yakni kerentanan layanan kesehatan di daerah karena luasnya wilayah serta beragamnya tantangan geografis Indonesia.
Baca juga: WHO Klaim Polusi Udara Bunuh 7 Juta Manusia Per Tahun
Pada konteks Indonesia, John mencatat dengan populasi yang besar mencapai lebih dari 270 juta orang, pengeluaran atau belanja sektor kesehatan hanya sekitar 3,1 persen dari PDB sehingga dibutuhkan partisipasi seluruh pihak untuk memenuhi kebutuhan layanan kesehatan di Indonesia sehingga lebih ideal.
“Ini rendah sekali dari negara-negara lain di kawasan ASEAN. Tentunya, dengan negara lebih maju ya kita jauh di belakang. Padahal sektor kesehatan merupakan salah satu tulang punggung kemajuan,” tutur John.
Terlebih lagi, lanjut John, terdapat kebutuhan yang meningkat seiring antisipasi terhadap wabah di masa depan maupun pertumbuhan pendapatan masyarakat. “Ini pasti akan naik di masa depan.”
Lemahnya industri kesehatan di Indonesia menguntungkan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Australia. Data yang dirilis Indonesia Services Dialog (ISD) menunjukkan setiap tahun setidaknya orang Indonesia mengeluarkan uang Rp 100 triliun untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di luar negeri.
Masih dari survei yang sama, jumlah orang Indonesia yang berobat ke luar negeri mengalami peningkatan hampir 100 persen selama 10 tahun terakhir. Jika di tahun 2006 terdapat 350.000 orang pasien, tahun 2015 melonjak menjadi 600.000 pasien.
Salah satu alasan pasien berobat ke luar negeri adalah layanan kesehatan belum berkualitas. Sementara dari sisi kuantitas, John mendapati data bahwa Indonesia hanya memiliki rasio ranjang 1,33 per 1.000 orang.
Baca juga: CIMB Niaga Perkuat Layanan Digital Banking Melalui Octo Savers
John mengungkapkan hal itu dibuktikan SILO merupakan rumah sakit pertama yang bekerja sama dengan Gleneagle Hospital Singapore dan mendapatkan akreditasi Joint Commission International atau JCI. Akreditasi ini merupakan standar layanan kesehatan berkelas internasional.
Sejak 2011, Lippo Group bahkan telah memiliki RS Mochtar Riady Comprehensive Cancer Center (MRCCC) Building of Hope Siloam Semanggi yang merupakan rumah sakit khusus kanker kedua di Indonesia, setelah RS Kanker Dharmais.
“MRCCC adalah centre of excellence untuk penyakit kanker baik untuk rujukan kasus, pasien, spesimen, maupun peralatan. Pengetahuan itu ditransfer ke seluruh RS jaringan kami. Tentunya sekarang kami bertumbuh dengan memiliki 40 rumah sakit di 27 provinsi. Ini keuntungan dalam melakukan transfer pengetahuan,” tegasnya.
Selain persoalan rumah sakit dengan layanan berkualitas, John melihat Indonesia masih menghadapi problem minimnya jumlah dokter. Saat ini saja, jumlah dokter hanya sekitar 81.011 orang, dengan persebaran terbanyak di Pulau Jawa, terutama Jabodetabek dengan rasio mencapai 0,3 per 1.000 orang.
Meski demikian, menurut John keterbatasan tersebut rupanya tidak berkorelasi pada kualitas dokter-dokter di Indonesia yang kerapkali kemampuannya melampaui kolega dokter di luar negeri karena terbiasa menghadapi persoalan kesehatan lebih kompleks dan berat.
“Secara jangka panjang, problem ini akan diselesaikan dengan menggenjot perguruan tinggi menghasilkan para dokter, hal inilah yang diampu oleh Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan (UPH). Selain itu, bisa diambil kebijakan untuk menarik pulang para pelajar kedokteran di luar negeri untuk praktik,” kata John.
Lebih jauh, solusi jangka pendek menurut John yakni implementasi relaksasi regulasi yang mengizinkan investasi asing ke industri Rumah sakit hingga 67 persen dan pasal Omnibus Law terkait praktik dokter asing.
“Setidaknya sebagai jumpstart saja dan melakukan transfer pengetahuan. Selebihnya harus ditempuh solusi jangka panjang,” tutup John.