News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Jakarta Terancam Tenggelam, Pencegahan Cara Negara Ini Bisa Jadi Pilihan

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Banjir rob di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, sebagai dampak gerhana bulan total masih berlangsung di sejumlah titik di tempat tersebut deperti terlihat, Kamis (27/5/2021). Ketinggian air bervariasi mulai dari 5 hingga 30 cm, namun aktifitas di pelabuhan masih bisa tetap berjalan. (Warta Kota/Nur Ichsan)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Kekhawatirkan Kota Jakarta bagian utara bakal tenggelam telah mencuat sejak belasan tahun lalu.

Sejumlah pejabat berwenang mengatakan harus dilakukan pencegahan, sebelum benar-benar tenggelam.

Penurunan buka tahan terjadi di bagian yang paling parah yaitu daerah Pluit, Jakarta Utara setinggi 10-12 centimeter per tahun.

Terakhir, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengingatkan hal tersebut di kantornya.

Basuki menuding eksploitasi air tanah oleh masyarakat menjadi penyebab permukaan tanah semakin merosot.

Baca juga: Prospek Investasi di Sektor Properti Hunian Menjanjikan di Masa Pandemi  

"Itu yang paling parah kalau kita lihat ada di daerah Pluit Jakarta Utara. Karena lokasinya dekat dengan pesisir laut, juga banyak air tanah yang diambil di sana," kata Basuki, Selasa (5/10/2021).

Sejumlah kajian menyebutkan bahwa Jakarta terus mengalami penurunan permukaan tanah mencapai 10 sentimeter hingga 12 sentimeter per tahun.

Basuki menjelaskan beberapa kota seperti di Bangkok, Thailand, dan Tokyo, Jepang, telah mengambil kebijakan mencegah penggunaan air tanah.

Kehadiran air tanah sangat penting karena berfungsi untuk mengisi rongga tanah yang kosong.

Baca juga: Penurunan Muka Tanah di Pluit Disebut Paling Parah, Tetapi Tak Pengaruhi Permintaan Properti

Namun, untuk menghentikan pengambilan air tanah tentu harus diiringi dengan stok air bersih yang merata untuk masyarakat yaitu dengan cara penyediaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM).

"Harus ada suplai air yang cukup dulu di Jakarta, baru bisa regulasi atau pak Gubernur DKI Anies Baswedan bisa bilang stop penggunaan air tanah.

Makanya kita buat waduk di Karian di Banten, untuk suplai air minum di Tangerang dan Jakarta, juga ada di Jatiluhur 1 dan Jatiluhur 2,” tutur Basuki

Mencontoh Jepang

Agar terhindar dari ancaman tersebut, Jakarta bisa mencontoh Tokyo, Jepang, yang telah berhasil menekan laju penurunan muka tanah atau land subsidence.

Balai Litbang Bangunan Hidraulik dan Geoteknik Keairan Kementerian PUPR Pulung Arya Pranantya seperti dikutip Kompas.com mengatakan, bahwa timnya telah mendapat kesempatan untuk melihat di Tokyo.

Baca juga: Krisis Utang Raksasa Properti Evergrande, Apa Dampaknya bagi China, AS, hingga Eropa?

"Tokyo melakukan upaya mitigasi dan adaptasi, jadi mereka melakukan keduanya. Tidak hanya melihat satu sisi saja misalnya penggunaan air tanah," katanya dalam diskusi virtual pada Rabu (6/10/2021).

Menurut dia, Tokyo memiliki kondisi geologi yang mirip dengan Jakarta, yaitu kota di delta.

"Jakarta ini kan delta ya, Tokyo juga delta, jadi setting geologinya mirip," ucapnya.

Pulung menyampaikan, ada beberapa upaya yang dilakukan Tokyo untuk menekan penurunan muka tanah. Pertama, membangun tanggul sungai dan tanggul pantai.

"Jadi mereka membuat tanggul sangat besar, untuk mencegah air naik ke daratan. Baik dari sungai maupun pantai," terangnya.

Kedua, Ibu Kota Negeri Sakura itu juga melakukan monitoring. Pemantauannya juga tergolong sangat baik. Ketiga, melakukan penghentian penggunaan air tanah.

"Ini (penghentian penggunaan air tanah) yang kita bahas sampai sekarang. Memang diperlukan, tapi jangan melihat satu sisi ini saja, melainkan juga sisi dan upaya lain untuk menekan laju land subsidence," jelasnya.

Keempat, Tokyo membuat bangunan pengendali banjir, yakni Underground Discharge Channel yang merupakan storage bawah tanah di bagian hulu.

Mereka membangunnya dengan ukuran besar, sehingga air dari hulu pada saat banjir masuk ke dalam, kemudian di lepas perlahan.

"Dengan Underground Discharge Channel ini, mereka bisa punya storage dan simpanan air baku," tukasnya.

Namun, menurut Profesor Riset bidang Geoteknologi-Hidrogeologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Robert Delinom, saat ini Indonesia atau khususnya Jakarta masih sulit meniru Tokyo.

"Kita susah melakukan apa yang seperti di Tokyo, bukan persoalan biaya modal infrastruktur saja, tapi kita belum memiliki kedisiplinan," katanya.

Sehingga, untuk saat ini belum sampai pada tahap seperti Tokyo, tapi tidak menutup kemungkinan beberapa tahun ke depan.

"Bangunan bawah tanah itu (di Tokyo) memang besar, tapi sampai sekerang belum pernah digunakan, karena di daratan manajemennya sudah bagus," tuntas Robert.

Tak Berpengaruh Pada Minat Hunian

Meskipun sejumlah kajian menyebutkan tanah di kawasan Pluit terus mengalami penurunan setiap tahunnya, namun ini ternyata tidak memberikan pengaruh pada minat masyarakat untuk membeli hunian di daerah tersebut.

Head of Advisory Services Colliers International Indonesia Monica Koesnovagirl mengatakan meskipun isu ini telah banyak dibicarakan, namun tidak berpengaruh pada harga hunian di Pluit.

“Saat ini, para developer sudah membangun hunian di daerah Pluit dengan menggunakan teknologi yang lebih baik sehingga rumah yang dibangun aman. Karena itulah, harga rumah di sana mahal namun orang tetap membeli,” jelas Monica dalam Konferensi Pers Colliers, Rabu (6/10/2021).

Dikatakan Monica, soal tenggelamnya Jakarta pada masa depan ini masih banyak ketidak pastian apakah hal ini akan benar-benar terjadi atau tidak.

Karena itu, orang masih ingin mencari hunian di daerah Pluit dengan pertimbangan dekat dengan keluarga atau komunitas.

“Orang banyak yang mencari rumah di daerah utara, karena ada yang dekat dengan rumah keluarganya atau sudah memiliki komunitas di sana. Jadi penurunan tanah ini, tidak terlalu berpengaruh pada keputusan seseorang dalam membeli properti di Pluit,” jelas Monica.

Sementara itu, pada kesempatan yang sama Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia Ferry Salanto mengungkapan developer pasti sudah menerapkan berbagai cara untuk mengatasi masalah penurunan muka tanah ini.

“Ambil contoh saja, di Kelapa Gading selalu langgangan banjir misalnya dalam kurun waktu seminggu atau dua minggu. Tapi orang tetap beli rumah di sana karena pertimbangan dekat dengan keluarga atau komuntias mereka. Mereka sudah merasa nyaman,” tandas Ferry. (Muhdany Yusuf Laksono/Masya Famely Ruhulessin)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Agar Tak Tenggelam, Jakarta Bisa Tiru Upaya Tokyo "

Simak Live Talkshow Tribun Series membahas polemik AD/ART Partai Demokrat bersama salah satu pendiri Partai Demokrat

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini