TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Proyek kereta cepat relasi Jakarta-Bandung kini tengah menjadi sorotan. Proyek tersebut terancam mangkrak karena biaya pengerjaannya membengkak menjadi 8 miliar dollar AS atau setara Rp 114,24 triliun.
Padahal sebelumnya, PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) melakukan estimasi biaya pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung adalah sebesar 6,07 miliar dollar AS.
Dengan demikian, setelah perkiraan pembengkakan anggaran mencapai 8 miliar dollar AS, artinya terdapat kenaikan sekitar 1,9 miliar dollar AS atau setara Rp 27,09 triliun.
Pemerintah Indonesia pun bergerak cepat melakukan penyelamatan dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 yang merupakan perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Dalam Pasal 4 Perpres Nomor 93 Tahun 2021, Presiden Jokowi mengizinkan penggunaan dana APBN untuk membiayai Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Padahal sebelumnya, Jokowi beberapa kali tegas berjanji untuk tidak menggunakan uang rakyat sepeser pun untuk mega proyek tersebut.
Isu mengenai utang tersembunyi kepada China pun mencuat, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merespon isu adanya utang tersembunyi dalam pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) tersebut.
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan, apabila ada utang pada proyek tersebut, pastinya utang tersebut tercatat di Bank Indonesia (BI).
Baca juga: Rp 4,3 Triliun Dana APBN Akan Mengalir untuk Biayai Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung
"Berita ini hoax ya, dan (terlalu) tendensius," ujar Arya saat dikonfirmasi Tribun, Minggu (17/10/2021).
"Tidak ada sama sekali utang tersembunyi dari China untuk kereta cepat, karena (pasti) tercatat di Bank Indonesia," sambungnya.
Kabar mengenai utang tersembunyi tersebut mencuat setelah AidData, sebuah lembaga riset internasional lewat laporan "Banking on the Belt and Road: Insight from a new global dataset of 13.427 Chinese Development Projects merilis bahwa pemerintah Indonesia tercatat memiliki utang tersembunyi dengan China senilai 17,28 miliar dollar AS.
Jika dikonversi ke dalam rupiah, nilai tersebut setara dengan Rp 245,3 triliun (asumsi kurs Rp 14.200 per dollar AS).
Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menjelaskan perihal utang tersembunyi (hidden debt) yang tercantum dalam AidData.
Hidden debt ini bukan berarti pemerintah tidak melaporkan utang alias sembunyi-sembunyi berutang.
Hidden debt adalah utang nonpemerintah. Tapi jika terjadi wanprestasi, berisiko kepada pemerintah.
"Saya klarifikasi sejak awal. Hidden debt versi AidData tak dimaksudkan sebagai utang yang tak dilaporkan atau disembunyikan. Jadi di titik ini kita sepakat, ini bukan isu transparansi," kata Yustinus.
Yustinus menjelaskan, utang tersebut dihasilkan melalui skema Business to Business (B-to-B) yang dilakukan dengan BUMN, bank milik negara, Special Purpose Vehicle (SPV) maupun perusahaan patungan dan swasta.
Karena utang B-to-B, utang ini tidak tercatat sebagai utang pemerintah.
Utang pun bukan bagian dari utang yang dikelola pemerintah.
Maka kata dia, utang ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab badan usaha yang meminjam.
"Ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab mereka. Meski demikian, tata kelola kita kredibel dan akuntabel soal ini," ungkap Yustinus.
Dia mengungkapkan, penarikan utang luar negeri (ULN) yang dilakukan oleh pemerintah maupun badan usaha selalu tercatat dalam Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI).
Semua data statistik ini dapat diakses oleh publik.
Berdasarkan data SULNI per akhir Juli 2021, total ULN Indonesia dari China sebesar 21,12 miliar dollar AS.
Utang tersebut terdiri dari utang yang dikelola Pemerintah sebesar 1,66 miliar dollar AS atau 0,8 persen dari total ULN Pemerintah, serta utang BUMN dan swasta dengan total mencapai 19,46 miliar dollar AS.
SULNI kata Yustinus, disusun dan dipublikasikan secara bulanan oleh Bank Indonesia bersama Kementerian Keuangan. Clear dan transparan.
"Semua ULN yang masuk ke Indonesia tercatat dalam SULNI dan informasinya dapat diakses oleh publik. Tak ada yang disembunyikan atau sembunyi-sembunyi," tukas Yustinus.
Lebih lanjut dia menyatakan, utang BUMN yang dijamin pemerintah dianggap sebagai kewajiban kontinjensi Pemerintah.
Namun perlu diingat, kewajiban kontinjensi tidak akan menjadi beban yang harus dibayarkan pemerintah, sepanjang mitigasi risiko default dijalankan.
Lagipula, kewajiban kontinjensi memiliki batasan maksimal.
Batas maksimal pemberian penjaminan baru terhadap proyek infrastruktur yang diusulkan memperoleh jaminan pada 2020 - 2024 sebesar 6 persen terhadap PDB 2024.
"Tentu saja Pemerintah mengapresiasi siapa pun yang punya concern pada tata kelola pemerintahan yang baik, termasuk utang. Mohon terus didukung dan dikritisi. Banyak pelajaran dari negara lain bisa dipetik, kita tingkatkan kewaspadaan dan tetap optimis," pungkas Yustinus.
Baca juga: Kereta Cepat Jakarta-Bandung Ditargetkan Beroperasi pada Akhir 2022
Sudah 79 Persen
Direktur Utama PT KCIC Dwiyana Slamet Riyadi juga turut buka suara mengenai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Menurutnya, saat ini, progres pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung sudah mencapai 79 persen.
Terkait hal ini, dia menegaskan bahwa PT KCIC terus melakukan berbagai upaya percepatan untuk menjaga agar target operasional kereta cepat di akhir tahun 2022 bisa terwujud.
Saat ini PT KCIC bersama konsorsium kontraktor sedang berfokus untuk melakukan percepatan pembangunan di 237 titik konstruksi secara komprehensif.
Dia mengakui, pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak awal tahun 2020 cukup menghambat proses pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
"Pandemi cukup memberikan dampak pada progres pembangunan KCJB (Kereta Cepat Jakarta-Bandung). Untuk itu fokus kami sekarang ini adalah melakukan percepatan pembangunan," ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima wartawan.
Titik-titik konstruksi yang menjadi prioritas ke depan antara lain penyelesaian 3 terowongan yang tersisa dari 13 terowongan yang ada di jalur KCJB.
Ketiga terowongan prioritas itu adalah tunnel #2 sepanjang 1.040 meter di Jatiluhur, Purwakarta (progres tergali 686 meter), tunnel #4 sepanjang 1.315 meter di Plered, Purwakarta (progres tergali 1.149 meter), dan tunnel #6 sepanjang 4.478 meter di Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung Barat (progres tergali 4.204 meter).
Selain itu, PT KCIC sedang mempercepat penyelesaian pekerjaan relokasi SUTT PLN dan erection girder untuk konstruksi elevated track, terutama yang berada di DK 132 dan DK 134 di daerah Batununggal, Bandung, Jawa Barat.
Dwiyana menambahkan saat ini pekerjaan subgrade 18#, 19#, dan 20# yang berlokasi di perbatasan antara Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta menjadi salah satu titik konstruksi yang dikebut pengerjaan konstruksinya.
Dwiyana memaparkan saat ini PT KCIC juga sedang melakukan percepatan pembangunan Stasiun Kereta Cepat Halim, Karawang, dan Tegalluar.
"Saat ini, pengerjaan di tiga Stasiun Kereta Cepat di Halim, Karawang, dan Tegalluar juga sedang kami kebut agar segera siap menyambut para penumpang sesuai target di akhir tahun 2022," paparnya.
Sedangkan Electric Multiple Unit (EMU) atau kereta yang akan digunakan ketika operasional nanti, saat ini sedang dalam tahap produksi di pabrik China Railway Rolling Stock Corporation (CRRC) Sifang yang berada di Qingdao, China.
Termasuk juga pembuatan Comprehensive Inspection Train (CIT) atau Kereta Inspeksi yang nantinya akan digunakan untuk pengecekan rutin jalur kereta cepat guna memastikan keamanan dan kehandalan pengoperasian KCJB.
Untuk persiapan operasional Kereta Cepat Jakarta-Bandung, PT KCIC dengan Kementerian Perhubungan saat ini sedang melakukan pembahasan dan harmonisasi Rancangan Peraturan Menteri Perhubungan untuk mendukung pengoperasian Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Di sisi lain, dilakukan juga pelatihan SDM hingga pembuatan SOP sebagai bagian dari persiapan Operation & Maintenance Readiness.
"Dengan semua upaya maksimal yang kami lakukan, diharapkan target pengoperasian KCJB di akhir tahun 2022 bisa tercapai," ujar Dwiyana.(Tribun Network/ism/kps/wly)