TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Hingga bulan ke-10 berakhir sebanyak 40 perusahaan baru telah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Artinya masih ada 13 perusahaan yang rencana initial public offering (IPO)-nya belum terlaksana.
Baca juga: Mitratel Akan Melantai di BEI, Analis: Disambut Positif Investor, Harga IPO Juga Masih Masuk Akal
BEI sebelumnya menargetkan sebanyak 53 perusahaan akan melakukan pencatatan saham perdana tahun ini.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna menyebut, sudah ada 40 IPO sejak awal tahun hingga 1 November kemarin. Sementara, saat ini masih ada 28 perusahaan dalam antrian di pipeline saham BEI.
Baca juga: Untuk Pertama Kalinya Sejak 2019, Pasar IPO Australia Kalahkan Hong Kong
Sebagian besar perusahaan menggunakan pembukuan 2021 sebagai basis IPO. "Kami harapkan semua bisa tercatat di tahun ini," ujarnya, Selasa (2/11).
Mempertimbangkan kondisi tersebut, BEI optimistis mampu mengejar sisa 13 IPO untuk memenuhi target. Terlebih, sebagian besar calon emiten saham tersebut tinggal menunggu kesiapan dari lembaga dan profesi penunjang.
Daftar 28 pipeline IPO saat ini didominasi oleh perusahaan aset skala besar, yakni sebanyak 16 perusahaan. Kemudian, 9 perusahaan termasuk aset skala menengah dan 3 perusahaan tergolong aset skala kecil.
Baca juga: Pelaku Pasar Cermati Rencana IPO Nusantara Sawit Sejahtera
Jika dilihat dari sektor bisnisnya, maka perusahaan yang tergolong dalam sektor Barang Konsumsi Non-Primer (Consumer Cyclicals) menjadi yang terbanyak dalam pipeline, yakni 8 perusahaan. Disusul sektor Barang Konsumen Primer (Consumer Non-Cyclicals) sebanyak 5 perusahaan.
Selanjutnya, 3 perusahaan berasal dari sektor Infrastruktur dan 3 lainnya dari sektor Energi. Lalu, masing-masing 2 perusahaan termasuk dalam sektor Barang Baku, Perindustrian, dan Teknologi. Sisa 3 perusahaan masing-masing berasal dari sektor Keuangan, Transportasi & Logistik, dan Properti & Real Estate.
Perkiraan dana yang dihimpun dari 28 pipeline sekitar Rp 31,27 miliar. "Tapi, ini asumsi menggunakan nilai nominal, bukan harga offering," imbuh Nyoman. (Dityasa H. Forddanta)