TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo alias Jokowi akhirnya mengungkapkan alasannya membuat kebijakan penghentian ekspor nikel saat pertemuan G20.
Jokowi beralasan, kebijakan tersebut dilakukan agar Indonesia mampu meningkatkan investasi dan pembukaan lapangan kerja di Indonesia.
Saat ini Pemerintahannya sedang memfokuskan pada hilirisasi industri.
"Kalau saya buka nikel dan saya kirim raw material, kita kirim raw material dari Indonesia ke Eropa, ke negara-negara lain, yang buka lapangan kerja mereka dong. Kita ngak dapat apa-apa," ujar Jokowi saat acara Kompas 100 CEO Forum di Istana Negara, Kamis (18/11).
Baca juga: Jokowi Pasang Badan Soal Gugatan UE Terkait Larangan Ekspor Nikel, Ini Jurus yang Bisa Dilakukan RI
Indonesia pun menawarkan investasi barang setengah jadi di Indonesia. Sehingga Indonesia tidak lagi mengekspor bahan mentah ke depan.
Tidak hanya berhenti pada nikel, Indonesia pun akan menghentikan ekspor bahan mentah lainnya.
Jokowi bilang ekspor mentah bauksit akan dihentikan tahun depan.
"Tahun depan mungkin bisa stop bauksit. Kalau smelter kita siap, stop bauksit.
Sehingga kita membuka lapangan kerja, hilirasi, industrialisasi di negara kita," terang Jokowi.
Baca juga: Pengamat: Selisih Hitung Kadar Nikel Bisa Berdampak Pada Penerimaan Negara
Setelah bauksit, pemerintah juga akan menghentikan ekspor bahan mentah tembaga. Hal itu dilakukan setelah pabrik smelter di Gresik siap beroperasi.
Penghentian tersebut akan meningkatkan nilai tambah di Indonesia.
Termasuk juga peningkatan investasi dan pembukaan lapangan kerja.
Jokowi mencontohkan nikel yang mendapatkan nilai tambah 10 kali lipat bila menjadi besi baja.
Baca juga: STAL Siap Jadi Terobosan Teknologi Pengolahan Nikel yang Ramah Lingkungan
Hal itu akan meningkatkan nilai ekspor Indonesia.
"Sekarang ini lompatan ekspor kita tinggi sebenarnya dari sini. Sampai akhir tahun perkiraan saya bisa US$ 20 miliar," ungkap Jokowi.
Setelah hal itu diterapkan pada komoditas lain, Jokowi optimis ekspor Indonesia akan terdongkrak.
Hal itu akan menjadi strategi utama Indonesia ke depan. (Abdul Basith Bardan/Kontan)