Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan kenaikan eksesif tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) di saat seperti ini kurang tepat.
Sebab, meskipun penularan Covid-19 bisa terkendali, masa pemulihan akibat dampak masif yang ditimbulkan selama dua tahun terakhir membutuhkan periode multiyears.
“Rokok adalah produk konsumsi nomor dua, yang amat penting untuk menyokong ekonomi negara. Dan di sisi lain merupakan industri padat karya yang melibatkan jutaan orang,” kata Ahmad dalam keterangannya, Selasa (30/11/2021).
Ahmad mengatakan, akan lebih baik jika pemerintah memiliki formula baku dalam setiap kebijakan cukai rokok termasuk dalam kebijakan kenaikan tarif.
Formula tersebut merupakan gabungan pertimbangan dan data dari berbagai dimensi terkait seperti aspek kesehatan, tenaga kerja, penerimaan negara, petani, hingga pemantauan rokok ilegal.
Baca juga: Kebijakan Tarif Cukai Dinilai Belum Sejalan dengan Evolusi Industri Vape
Menurutnya saat ini, arah kebijakan terkait cukai rokok kurang memenuhi aspek keberadilan bagi seluruh pemangku kepentingan terkait.
“Maraknya rokok ilegal juga perlu mendapat perhatian khusus. 2020, kenaikkan CHT mencapai 23,5 persen membuat tingkat peredaran rokok ilegal mencapai 4,86 persen dengan taksiran kerugian negara Rp 4,38 triliun. Itu hanya hitungan yang ditangkap belum memperhitungkan rokok ilegal yang belum ketahuan,” tutup Ahmad.
Baca juga: Pemerintah Tambah Barang Kena Cukai Untuk Kurangi Ketergantungan Terhadap Rokok
Sementara Direktur Industri Minuman, Industri Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Edy Sutopo mengakui kalaupun tarif harus naik, pihaknya akan memberikan masukan agar tarifnya tidak naik terlalu tinggi.
Baca juga: Pemerintah Diminta Tidak Menaikkan Cukai Rokok Tahun Depan
“Kami kurang sepakat jika cukai dinaikkan terlalu tinggi. Harus hati-hati tentang kenaikan tarif CHT ini, karena Indonesia masih membutuhkan industri IHT. Kalau industri ini mampu bertahan, bukan tidak mungkin industri ini akan memberikan dampak positif terhadap penerimaan negara," katanya.
Data Kementerian Perindustrian menyatakan, sepanjang tahun 2020 lalu setidaknya 4.500 tenaga kerja di sektor IHT yang di-PHK.
Edy mengatakan data tersebut bisa saja lebih besar karena banyak pabrik dengan pertimbangannya masing-masing yang kurang disiplin dalam pelaporannya.
Menurut Eddy, keluhan petani sering datang karena penyerapan bahan baku tembakau yang kian menurun.
“Pertimbangan yang harus dipikirkan dalam kebijakan CHT memang banyak dan tidak mudah karena bersentuhan dengan banyak orang dan multisektor,” kata Edy.