Laporan Wartawan Tribunnews Taufik Ismail
TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI yang membidangi urusan BUMN, Andre Rosiade meminta Kementerian BUMN dan PT Angkasa Pura II (Persero) transparan, menyusul ramainya isu penjualan saham pengelolaan Bandara Kualanamu ke investor asal India.
Dia menilai, munculnya kabar miring ini karena lemahnya komunikasi yang dijalankan pemerintah, dalam hal ini Kementerian BUMN dan Angkasa Pura II.
Kerja sama strategis antara PT Angkasa Pura II (Persero) dengan GMR Group asal India dan Aeroports de Paris Group (ADP) asal Prancis menjadi ramai sejak munculnya isu adanya penjualan aset.
"Soal Bandara Kualanamu ini menunjukkan Public Relations (PR) pemerintah lemah, baik itu Kementerian BUMN, dan Angkasa Pura II," Kata Andre saat rapat kerja dengan Menteri BUMN, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (2/12/2021).
Baca juga: Bandara Kualanamu Diisukan Dijual ke India, Ini Tanggapan dari Angkasa Pura II
Menurutnya masalah Bandara Kualanamu itu sebenarnya proses tender yang sudah lama berjalan, hanya saja komunikasi pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN, dan komunikasi Angkasa Pura II tidak berjalan baik. Andre mengaku mengetahui adanya kerjasama tersebut dari media.
Baca juga: Bandara Kualanamu Dijual ke Investor India? Berikut Jawaban Kementerian BUMN
"Tiba-tiba kita mendengar pengumuman tanggal 23 November 2021, bahwa Angkasa Pura II ingin bekerjasama dengan pemenang tendernya yang bernama GMR konsorsium dari India yang mengelola Bandara New Delhi dan Charles de Gaulle di Prancis. Ini pemain besar lah," ujar Andre.
Kementerian BUMN dalam pemaparannya terkait masalah Bandara Kualanamu tersebut, tidak menjelaskan secara detail keuntungan yang didapat pemerintah setelah investasi.
"Saya dengar bahwa setelah tandatangan kontrak tanggal 23 Desember 2021 nanti pihak GMR itu akan memberikan yang namanya Apron payment kepada Indonesia sebesar Rp 1,58 triliun," ujarnya.
Uang Rp 1,58 triliun itu, menurut Andre seharusnya bisa digunakan oleh Angkasa Pura II untuk pembangunan bandara baru atau revitalisasi Bandara yang sudah eksisting seperti Bandara di Silangit Sumatera Utara yang sudah berkali-kali minta anggaran runway tapi tidak terwujud.
"Jadi dengan adanya kerjasama ini mungkin bandara bandara yang eksisting tersebut bisa di revitalisasi," katanya.
Andre menjelaskan, dalam Kontrak Joint Venture Company (JVCo) tersebut, Angkasa Pura II sebagai pemegang saham mayoritas dengan menguasai 51 persen saham di PT Angkasa Pura Aviasi, sementara GMR Airports Consortium memegang 49 persen saham.
Baca juga: Bandara Kualanamu Dijual ke Investor India? Berikut Jawaban Kementerian BUMN
"Ini harus kita jelaskan kepada masyarakat. Bahwa saat ini Angkasa Pura II melakukan kerja sama dengan GMR Airports Consortium dan membentuk Joint Venture Company (JVCo), yaitu PT Angkasa Pura Aviasi. Nah ini yang harus kita luruskan dan jelaskan mengenai kontrak kerjasama tersebut," ungkap Andre.
Selain itu menurutnya perlu dijelaskan kepada masyarakat mengenai mekanisme kerja sama BOT (Build Operate Transfer) dalam kontrak JVCo tersebut. Yakni, kerja sama operasional yang terjalin selama 25 tahun. Artinya, jika kontraknya sudah berakhir, akan dikembalikan lagi kepada Angkasa Pura II.
"Di satu sisi kita harus apresiasi, bahwa dimasa pandemi ini ada pihak swasta yang mau berinvestasi, menaruh uangnya sebanyak US$6 miliar atau setara degan Rp 15 Triliun di Indonesia," tutur Andre.
Dia menegaskan,munculnya isu penjualan aset Bandara Kualanamu menjadi evaluasi bagi Kementerian BUMN dan Angkasa Pura II serta BUMN BUMN lainnya untuk memperbaiki komunikasinya.
"Karena itu, kita harus buka semua isi perjanjiannya. Supaya tidak ada fitnah," ujarnya.
"Supaya masyarakat mengetahui apakah kerjasama itu berpotensi merugikan negara atau justru sebaliknya. Sehingga kerjasama ini yang tujuannya baik bisa berjalan untuk kepentingan Indonesia," lanjutnya.
Mencuat dari Said Didu
Adalah mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu yang diketahui pertama kali mengungkap dugaan pelepasaan saham Bandara Kualanamu ke perusahaan India.
"Bagi yg paham korporasi, jika sudah menyangkut pelepasan saham itu berarti sudah penjualan asset - bukan lagi Joint Operation. Joint Operation adalah para pihak memasukkan modal utk mengelola fasilitas dan berbagi laba sesuai kesepakatan - tdk ada perpindahan saham. Jelas?"
tulis Said Dudi dalam akun Twitter pribadinya seperti dikutip pada Jumat (26/11/2021).
Dikutip Kompas.com dari Antara, PT Angkasa Pura II selaku pemilik Bandara Kualanamu memang diketahui melepas kepemilikan sahamnya sebesar 49 persen kepada perusahaan asal India bernama GMR Airport Internasional.
Klaim pemerintah untung Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menyebutkan negara tetap untung dari aksi yang dilakukan oleh anak usaha PT Angkasa Pura II tersebut.
"Angkasa Pura II mendapatkan dua keuntungan, yaitu dana sebesar Rp 1,58 triliun dari GMR serta ada pembangunan dan pengembangan Kualanamu sebesar Rp 56 triliun dengan tahap pertama sebesar Rp 3 triliun," ujarnya.
Arya mengatakan aksi melepas 49 persen saham itu membuat perseroan tidak perlu mengeluarkan uang sebesar Rp 58 triliun untuk pengembangan Bandara Kualanamu, karena proyek pembangunan bandara justru ditanggung oleh mitra.
Dia mengklaim, dana sebesar Rp 1,58 triliun bisa dipakai oleh Angkasa Pura II untuk pengembangan dan pembangunan bandara baru di Indonesia.
"Ini namanya memberdayakan aset tanpa kehilangan aset, bahkan asetnya membesar berkali-kali lipat," jelasnya.
Angkasa Pura II dengan GMR membentuk perusahaan patungan bernama PT Angkasa Pura Aviasi untuk mengelola Bandara Internasional Kualanamu dan menguasai 51 saham di Angkasa Pura Aviasi, sedangkan GMR memegang 49 persen saham.
Kerja sama ini akan mengelola Kualanamu selama 25 tahun dan semua biaya pembangunan ditanggung dengan sistem build of take (BOT). Setelah 25 tahun, aset itu akan dikembalikan kepada Angkasa Pura II.
"Jadi aset tersebut tetap milik Angkasa Pura II bukan dijual asetnya, jadi keliru kalau mengatakan terjadi penjualan aset," klaim Arya.