Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kiprah bank digital menyedot perhatian banyak pihak. Banyak investor asing dan lokal kepincut bisnis ini.
Di sisi lain, para pemain di bisnis bank digital harus memiliki ekosistem kuat. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meyakini bank-bank yang tidak punya ekosistem dan masuk ke area digitalisasi tidak akan bertahan lama.
Daya saingnya akan terbatas karena setiap investasinya juga akan terbatas Sehingga pada akhirnya bank tersebut tidak akan bisa melakukan kompetisi bisnis dengan pihak lain.
Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III OJK, Slamet Edy Purnomo menyatakan, bank-bank yang tidak punya ekosistem ini dikhawatirkan hanya akan memainkan isu bank digital saja dan pada akhirnya bisa bisa merusak pasar.
Lalu menimbulkan kekecewaan pada masyarakat yang sudah membeli sahamnya.
Baca juga: Investor Lokal Diutamakan Ambil Alih Bank Kecil Berkinerja Bagus
"OJK akan tetap ikut menjaga, jangan sampai saham mereka hanya dibakar-bakar saja, ikut digoreng dengan masalah isu dengan rumor di belakangnya ada investor ini investor itu padahal faktanya tidak. Itu sudah sering terjadi dan kita tegur," ujar Slamet, Selasa (14/12/2021)..
Baca juga: Ketua OJK: Kredit Perbankan Tahun Ini Bisa Tumbuh 4,5 Persen Dari 2020
Pakar keuangan dan pasar modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy sependapat dengan OJK. Budi konsisten tak memandang nilai valuasi bank digital.
“Yang ada grup besar di belakangnya seperti BCA, Astra, BRI mestinya oke. Berikutnya mungkin grup Emtek dan lainnya,” ujar Budi.
Baca juga: Plus-Minus Penerbitan Uang Digital Menurut Bank Indonesia
Ia menilai, sangat penting bagi bank digital memiliki ekosistem memadai.
"Bank digital yang bisa jalan ialah yang punya ekosistem. Sedangkan yang lain, cuma ikut-ikutan supaya dapat valuasi yang tinggi alias ikut gorengan,” jelasnya.
Nu Bank dan Kakaobank, dua role model bank digital berangkat dari ekosistem yang kuat, loyal dan milik sendiri.
Nu Bank acap disebut-sebut bank digital Indonesia karena salah satu investor Nu Bank juga berinvestasi di Indonesia.
Tapi sayang, langkah Nu Bank belum diikuti bank digital Indonesia. Nu Bank membangun sendiri credit score nasabah. Sehingga bisa memberikan bunga kredit lebih murah dengan tetap menjaga risiko.
Sedangkan Kakaobank awalnya aplikasi percakapan yang amat populer di Korea Selatan, Kakaotalk. Selama tujuh tahun Kakaotalk berhasil menjaring pengguna yang loyal.
Kini 90 persen penduduk Korea Selatan adalah pengguna Kakaotalk. Setelah solid, barulah mendirikan Kakaobank.
Dengan mengacu Nu Bank dan Kakaobank, sebetulnya bank digital bisa memaksimalkan teknologi yang mereka miliki. Boleh-boleh saja sekarang menggandeng fintech atau multifinance.
Tapi jangan keasyikan mendongkrak valuasi. Ke depan jangan lupa memperluas inklusi keuangan seperti Nu Bank yang membikin credit score, dan memberikan bunga murah.