Indikasi kartel paling tampak dari lonjakan harga minyak goreng, lanjut Tulus, adalah kenaikan harga minyak secara serempak dalam waktu bersamaan.
Di sisi lain, selama ini minyak goreng yang beredar di pasaran juga dikuasai oleh segelintir perusahaan besar.
"Kalau kartel pengusaha bersepakat, bersekongkol menentukan harga yang sama sehingga tidak ada pilihan lain bagi konsumen," terang Tulus.
Kalau pun kenaikan harga dipicu lonjakan permintaan, hal itu bukan alasan mengingat Natal dan Tahun Baru (Nataru) sudah berlalu, namun harga minyak goreng masih saja tinggi.
Baca juga: Harga Minyak Goreng Mahal, YLKI Duga Ada Praktik Kartel
Terlebih, Indonesia adalah negara produsen sawit terbesar di dunia. Untuk pasar ekspor, produsen minyak sawit bisa berpatokan pada harga internasional.
Harga minyak CPO di pasar dunia yang tengah melonjak, tidak bisa jadi alasan untuk menaikkan harga minyak goreng yang dijual di dalam negeri.
Harga minyak goreng harus mengacu pada harga eceran tertinggi (HET) yang sudah ditetapkan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag).
"Kita kan penghasil CPO terbesar, kita eksportir bukan importir, jadi bisa menentukan harga CPO domestik.
Jangan harga internasional untuk nasional," ujar Tulus.
Menjual minyak goreng dengan harga mahal di dalam negeri tentunya mencedarai konsumen.
Mengingat sejatinya, perusahaan besar juga menanam sawitnya di atas tanah negara melalui skema hak guna usaha (HGU).
Di sisi lain, pemerintah juga banyak membantu pengusaha kelapa sawit dengan membantu membeli CPO untuk kebutuhan biodiesel.
Kartel merupakan adanya hubungan kerja sama antara beberapa kelompok produsen atau perusahaan yang sama, tujuannya untuk menetapkan harga, membatasi suplai dan kompetisi.
Mengutip laman Pusat Informasi Pangan Strategis Nasional (PIHPS) pada Rabu (12/1/2022), harga minyak goreng per kilogramnya dijual di kisaran Rp 19.000 hingga Rp 24.000.