TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kelompok notaris pendengar, pembaca, dan pemikir (Kelompencapir) menggelar Seminar bertajuk 'Merek Kolektif Sebagai Solusi Bagi Koperasi dan UMKM untuk Meningkatkan Pertumbuhan Perekonomian Melalui Ekonomi Kreatif Pada Era Disrupsi' di Lagoon Gorden Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (14/1/2022).
Seminar diadakan untuk memperingati HUT Kelompencapir yang ke-2, dilakukan secara luring maupun daring.
Dalam sambutanya, Insiator Kelompencapir Dewi Tenty menyampaikan, sepanjang pandemi Covid-19 ini terdapat sekitar 37 juta UMKM yang mengalami gulung tikar.
Dari 64,7 juta di tahun 2019 turun tajam menjadi 34 juta di tahun 2020. Akibatnya ada 7 juta pekerja informal UMKM yang kehilangan mata pencahariannya.
"Selain itu, Data BI menyampaikan 87,5 persen UMKM terimbas dari Covid ini. Dari jumlah itu, 98,2 persen terdampak dari sisi penjualan. Hal ini tentu sangat disayangkan karena di tahun 2019, 64 juta pelaku UMKM telah memberikan kontribusi sebesar 60 persen atau Rp8,57 triliun bagi PDB negara kita," kata Dewi.
Dewi menyayangkan situasi tersebut. Terlebih, koperasi dan UMKM berperan sangat besar dalam mendongkrak perekonomian Indonesia.
Baca juga: DPRD DKI Ingatkan Pemprov Genjot Perekonomian Lewat Event dan Pelibatan UMKM
Di samping itu, Koperasi dan UMKM berperan mendongkrak kinerja ekonomi kreatif. Salah satunya melalui pemanfaatan merek kolektif.
Penggunaan merek kolektif menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas sekaligus meningkatkan pendapatan ekonomi negara sebagai bentuk kekayaan intelektual yang dapat dimanfaatkan untuk menjamin transaksi kredit pada perbankan.
"Merek kolektif juga diharapkan dapat mendorong peningkatan produktivitas dan harga karena diferensiasi layanan atau produk yang menciptakan insentif yang lebih lanjut dengan berinvestasi dalam kualitas dan reputasi," ujarnya.
Deputi Bidang Perkoperasian Kemenkop dan UKM RI Ahmad Zabadi menambahkan, jumlah UMKM di Indonesia jumlahnya begitu besar yakni lebih dari 64,7 juta. Dari jumlah itu, 99,7 persen adalah pelaku usaha mikro.
Baca juga: Harga Minyak Goreng Gila-gilaan, Pelaku UMKM Terpukul, Anggota DPR Prihatin
"Sehingga keberadaan UMKM tentu sangat menentukan dan menjadi fundamental perekonomian kita. tidak terbayangkan kalau UMKM berhenti saja, efektifitasnya dalam jangka waktu yang panjang," ujarnya.
Kendati demikian, Zabadi menyoroti masih banyaknya pelaku UMKM di Indonesia berada di sektor informal. Lebih kurang 99,7 persen pelaku usaha mikro masih berada di jalur itu.
"Karena itu ini menjadi tugas kita bersama bahwa kalau kita ingin memperkuat fondasi kita lebih kukuh. Kita harus mendorong proses transformasi dari pelaku UMKM kita ini dari jalur informal ke formal," ujarnya.
Menurut Zabadi, dengan transformasi ke sektor formal, UMKM lebih bisa bertahan hidup dan berkesempatan membuka lapangan pekerjaan lebih luas lagi.
"Karena itu ide besar tema ini sangat relevan 'merek kolektif' sebagai ikhtiar kita bagaimana keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki UMKM terutama di sektor informal dan kecil, dapat dibantu dengan naungan merek kolektif sehingga mereka dapat meningkatkan produktivitasnya dan pendapatannya," kata Zabadi.
Baca juga: Punya 3 Juta Pengguna di Jawa dan Bali, Aplikasi Mapan Gaet Mitra UMKM di Sumatera dan Sulawesi
Menurut Zabadi, pelaku UMKM yang produknya bergabung dalam merek kolektif akan diberikan banyak keistimewaan.
Seperti tidak perlu lagi memikirkan izin, sertifikasi produk, promosi, dan pemasaran.
Untuk melihat keterbatasan-keterbatasan pelaku UMKM, Zabadi menilai, peran koperasi sangat dibutuhkan. Koperasi nantinya akan mengkonsolidasikan para UMKM untuk merangkum keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki mereka. Setelah itu, koperasi akan melakukan proses-proses sertifikasi yang dipersyaratkan.
Henra Saragih, kepala Biro Hukum dan Kerjasama Koperasi dan UKM menyoroti banyaknya koperasi yang terkena masalah, terutama adalah koperasi yang menyelenggarakan Pinjol.
"Kami saat ini sedang melakukan pendampingan terhadap koperasi yang sudah selesai pada tahap PKPU,” jelasnya.
Dari jumlah koperasi di Indonesia, sekitar 91 % adalah usaha mikro yang besar jumlahnya sekitar 147.
Sementara untuk UMKM, dari segi kemudahan, sebenarnya sudah banyak hal yang diberikan pemerintah. Melalui PP 7, Pemerintah memberikan kemudahan dan perlindungan kepada pelaku usaha UMKM, pertama adalah terkait perijinan, seperti basis perijinan tunggal.
“Jadi NIB (Nomer Induk Berusaha) berlaku sebagai izin usaha dan berlaku sebagai sertifikat standar dan sertifikasi halal,” jelasnya.
Baca juga: Cinta Lingkungan, UMKM Ini Buktikan Bisnis Tak Melulu Soal Untung
Jumlah UMKM yang sangat besar dan rata-rata informal juga didorong agar memiliki legalitas, dengan kemudahan mendirikan perseroan perseorangan.
Sekarang ini sekitar 64 juta jumlah UMKM, hanya sekitar 24 juta yang by name by address.
“Sehingga Ketika kita memberikan BPUM (Bantuan Produktif Usaha Mikro) mengalami kesulitan,” jelas Henra.
Memberikan bantuan saja sulit, apalagi kemudian melakukan pendampingan dan pemberdayaan.
Adapun seminar ini juga mengundang narasumber yang ahli berbicara soal merek kolektif dan UMKM.
Mereka yakni Kepala Biro Hukum dan Kerja Sama Kemenkop dan UKM RI Henra Saragih, Direktur Umum PT Sarinah Fetty Kwartati, Ketua Umum Perkumpulan Bumi Alumni Ary Zulfikar, Direktur Hubungan Kelembagaan PT Mandiri Rohan H, Direktur Perdata Kemenkumham RI Santun M, Staf Khusus Menkominfo Ahmad Ramli, dan Staf Ahli Kemenparekraf Ari Juliano Gema, Vice President Micro Development & Agent banking Group Bank Mandiri, Ashraf Farahnaz.