Dikutip dari laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), biodiesel dapat mengurangi emisi CO2 sebesar 11,4 juta ton CO2e dari sektor transportasi.
Keunggulan lainnya dapat menghemat biaya produksi 35 persen dibandingkan dengan biodiesel dari CPO (crude palm oil).
Sayangnya potensi minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel belum digarap serius di Indonesia.
Padahal mengutip penelitian Traction Energy Asia tahun 2019, dari 28,4 kiloliter (KL) minyak jelantah yang dihasilkan di Indonesia, potensi menjadi biodiesel sebesar 5,7 KL liter.
Potensi ini bisa memenuhi kebutuhan biodiesel nasional hingga 32 persen.
Namun, hanya 3 juta KL minyak jelantah yang berhasil dikumpulkan di Indonesia.
Dari angka itu, baru 570 ribu KL yang dimanfaatkan sebagai biodiesel. Sebagian besar sisanya, 2,43 juta KL diproduksi sebagai minyak goreng daur ulang dan 184 ribu KL diekspor.
Manajer Riset Traction Energy Asia, Ricky Amukti, mengatakan sudah saatnya pemerintah mengatur persoalan minyak jelantah.
Jika tidak diatur, minyak jelantah akan terus didaur ulang dan membahayakan kesehatan warga.
"Kalau tidak diatur, biodiesel dari minyak jelantah akan sulit bersaing dengan minyak reproduksi," ujar Ricky saat berbincang dengan Tribun pertengahan Desember 2021 lalu.
Saat ini, menurut Ricky, minyak jelantah terbentur tiga permasalahan utama. Pertama karena belum diakui sebagai salah satu sumber energi nasional, maka pengumpulan minyak jelantah secara masif belum bisa dilakukan.
Kedua, belum ada insentif untuk minyak jelantah seperti halnya biodiesel dari CPO karena itu perlu dipikirkan proses pemberian insentifnya.
Hambatan ketiga adalah terkait teknologi. Sampai saat ini, kata Ricky, UCO masih kesulitan mendapatkan SNI dari pemerintah.
“Indonesia perlu belajar dengan negara lain karena penggunaan UCO untuk biodiesel di Eropa sangat masif.