News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pemerintah Perlu Serius Memaksimalkan Minyak Jelantah Sebagai Biodiesel

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ibu-ibu antre sedekah minyak jelantah.

Di sana, UCO masuk ke dalam biofuels generasi kedua yang lebih ramah lingkungan,” Ricky menjelaskan.

Selama ini pemanfaatan minyak jelantah menjadi biodiesel telah diinisiasi oleh pihak swasta. Salah satunya adalah Danone.

Regional External Communication Danone Indonesia Wilayah Timur, Rony Rusdiansyah mengatakan, program tersebut berjalan sejak 2014 melibatkan BUMDes Panggung Lestari Desa Panggungharjo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.  

BUMDes tersebut, kata dia, mengumpulkan minyak jelantah dari warga.

Danone kemudian memproduksinya menjadi bahan bakar mesin pabrik pengolahan air mineral dan air berkarbonasi milik Danone di Klaten. 

"Kami menyerap UCO (minyak jelantah, red) untuk edukasi kesehatan, agar tidak terpakai dua kali. Selain itu juga untuk kurangi fossil fuel," kata Rony saat dihubungi melalui telepon, Senin (17/1/2022) lalu.

Namun program tersebut berhenti pada tahun 2017 hingga 2018, setelah mesin pengolahan baru milik Danone, tidak lagi kompatibel biodisel dari minyak jelantah. 

"Bahan bakar dari minyak jelantah sudah nggak support lagi dengan mesin pabrik," kata Rony.

Kendati demikian, menurut Rony, warga di Panggungharjo masih mengumpulkan minyak jelantah.  

"Sekarang masih tetap jalan. Tadi kerjasamanya untuk pengolahan sampah, termasuk dari minyak jelantah,” kata dia.

Perlu Dukungan Regulasi

Peneliti Traction Energy Asia lainnya, Fariz Panghegar menjelaskan pemerintah seharusnya menetapkan minyak jelantah sebagai komoditas bahan baku energi.

Selain itu, juga perlu menetapkan kuota kebutuhan minyak jelantah untuk produksi biodiesel nasional serta harga eceran tertinggi. 

Dengan regulasi tersebut, menurut Fariz, mobilisasi pengumpulan minyak jelantah akan lebih mudah dilakukan.

Adanya kepastian harga, akan menarik minat pembeli dan kepastian produksi menjadi bio solar.

Hal itu juga akan mendorong siklus ekonomi baru yang bisa melibatkan langsung masyarakat dan usaha kecil menengah.

Minyak jelantah yang dikumpulkan di masyarakat, lalu diolah menjadi biosolar oleh Pertamina atau pihak swasta lainnya.

Selain untuk memenuhi target program nasional, distribusi biosolar juga bisa menjangkau kelompok masyarakat yang mengalami kelangkaan energi atau berdaya beli rendah, seperti komunitas nelayan yang bergantung pada solar untuk melaut.

Pada akhirnya, Indonesia dapat meraih manfaat maksimal dari komoditas minyak jelantah di masyarakat: sebagai biosolar yang lebih ramah lingkungan, menurunkan emisi gas rumah kaca, sekaligus mengurangi limbah cair rumah tangga.  

Karena belum ada regulasi, kata Fariz, minyak jelantah selama ini diperdagangkan dengan tiga mekanisme yakni sedekah (tanpa insentif), barter minyak jelantah dengan jasa (misalnya jasa pengambilan sampah) dan jual-beli dengan harga yang tak tentu.

"Bagi masyarakat yang memperjualbelikan minyak jelantah, kisaran harga jualnya  pada rentang Rp 3.000-5.000 per liter," ujar Fariz saat berbalas pesan via email pada Minggu(16/1) lalu.

Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, mengatakan, pemerintah masih mempertimbangkan mengenai pemanfaatan minyak jelantah menjadi biodiesel.

Termasuk pengaturan larangan reproduksi minyak jelantah menjadi minyak goreng. 

Menurut dia, masyarakat juga perlu diedukasi mengenai pola hidup sehat dengan tidak menggunakan minyak goreng daur ulang.  

"Intinya harus ada edukasi kepada masyarakat untuk pola hidup sehat dengan penggunaan minyak goreng. Dengan dilakukan edukasi tersebut potensi ketersediaan minyak jelantah menjadi lebih tinggi dan harus dimanfaatkan. Apalagi di negara maju dijadikan alternatif untuk biodiesel," ujar Oke saat dihubungi Tribun, Jumat(10/12) lalu.

Pemerintah, lanjut Oke, juga saat ini terus melakukan pengawasan terhadap minyak jelantah yang marak direproduksi lagi menjadi minyak goreng konsumsi dan berbahaya bagi kesehatan. "Pastinya akan diawasi," ujar Oke.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengatakan pemerintah tidak membeda-bedakan bahan baku sebagai sumber energi alternatif, termasuk minyak jelantah.  

"Kementerian ESDM tidak membeda-bedakan asal dari bahan bakunya, apakah itu minyak nabati baru atau bekas. Yang kami atur adalah spesifikasi dari produk bahan bakar biodiesel," kata Dadan melalui pesan Whatsapp, Kamis (20/1).

Dadan juga menegaskan tidak ada hambatan menjadikan minyak jelantah menjadi sumber energi alternatif, termasuk dari aspek teknologi.

Selama ini, teknologi di Indonesia untuk mengolah minyak jelantah menjadi biodiesel, masih mengandalkan ekspor ke negara-negara Uni Eropa.

"Dari sisi teknis kita sudah pastikan kalau spesifikasi biodiesel sudah mempertimbangkan penggunaan minyak jelantah dan juga minyak-minyak lainnya. Jadi tidak ada masalah," ujarnya.

Direktur Bio Energi Direktorat Jenderal  Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Edi Wibowo menjelaskan alasan mengapa minyak jelantah masih sulit digunakan sebagai sumber energi alternatif.

Kata dia upaya menjadikan minyak jelantah/Used Cooking Oil (UCO) sebagai sumber bahan bakar sebenarnya sudah lama diupayakan, tetapi beberapa kendala yang dihadapi antara lain dari aspek teknis dan masalah kontinuitas suplai serta rantai pasok.

Pemanfaatan minyak jelantah sebagai bahan baku untuk biodiesel, dengan teknologi yang dikembangkan di Indonesia saat ini belum dapat menghasilkan biodiesel dengan spesifikasi yang dipersyaratkan untuk dicampur dengan minyak solar. 

Teknologi yang dapat mengkonversi minyak jelantah menjadi biodiesel dengan spesifikasi yang telah ditetapkan yaitu Kepdirjen EBTKE Nomor 189 K/10/DJE/2019 tanggal 5 Nov 2019 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel sebagai bahan bakar lain yang dipasarkan di dalam negeri, juga masih mahal dibandingkan dengan mengkonversi CPO menjadi biodiesel. 

“Karena terbatasnya bahan baku (minyak jelantah yang terkumpul),” kata Edi.

Menurut Edi, walau minyak goreng yang telah dipakai berkali-kali tidak baik untuk kesehatan, kenyataanya masih banyak minyak jelantah dari pengguna pertama yang dimanfaatkan oleh pengguna kedua dan seterusnya, sehingga jika dijadikan sumber energi kontinuitas dan reliability bahan baku menjadi tantangan tersendiri.

“Jika kedua aspek di atas terkait aspek teknis dan ketersediaan bahan baku dnegan harga terjangkau dapat dipenuhi, maka potensi minyak jelantah sebagai sumber energi akan dapat diimplementasikan,” ujarnya.

Kajian Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Traction Energy Asia mencatat bahwa Indonesia baru mengumpulkan 3 juta kilo liter (KL), atau hanya 18,5 persen dari total konsumsi minyak goreng sawit nasional sekitar 16,2 juta KL pada tahun 2019.

Dari 3 juta KL ini, hanya sekitar 570 ribu KL yang dikonversi untuk biodiesel dan kebutuhan lainnya, sementara sisanya digunakan untuk minyak goreng daur ulang dan ekspor. 

Belum adanya mekanisme pengumpulan minyak jelantah baik dari restoran, hotel, dan rumah tangga menyebabkan minimnya pemanfaatan minyak jelantah, menurut kajian tersebut.

“Sebaran lokasi sumber minyak jelantah yang tidak simetris dengan lokasi pabrik pengolahan biodiesel, teknologi pengolahan (terutama yang dikelola oleh masyarakat) yang belum cukup efisien dan kualitas biodiesel hasil olahan minyak jelantah yang masih jauh dari spesifikasi yang ditentukan menjadi tantangan selanjutnya,” ujar Edi.

Edi juga memaparkan alasan mengapa hingga saat ini belum ada insentif atau regulasi yang mengatur soal insentif terkait pengumpulan minyak jelantah.

Kata Edi penyebabnya, pengumpulan minyak jelantah saat ini peruntukannya masih untuk berbagai macam kepentingan antara lain untuk minyak goreng daur ulang dan ekspor. 

Tantangan pemanfaatan minyak jelantah dalam skala besar adalah mekanisme pengumpulan minyak jelantah yang efektif dan efisien sehingga dapat diolah menjadi bahan bakar biodiesel dengan konsep zero waste yang juga bermanfaat bagi kesehatan dan lingkungan.

“Koordinasi antar K/L diperlukan untuk mewujudkan program tersebut,” ujarnya.

Lalu, lanjut Edi terkait Standar Nasional Indonesia(SNI) dari minyak jelantah juga sulit didapatkan karena biodiesel yang dihasilkan dari minyak jelantah belum dapat memenuhi standar dan mutu (spesifikasi) bahan bakar nabati jenis biodiesel sebagai bahan bakar lain yang dipasarkan di dalam negeri sesuai Kepdirjen EBTKE No. 189 K/10/DJE/2019, karena tidak homogennya karakteristik minyak jelantah setelah digunakan untuk keperluan measak yang berbeda-beda.

Hal ini yang menyebabkan biodiesel berbasis minyak jelantah yang diolah dalam skala kecil oleh masyarakat dengan teknologi yang sederhana belum dapat memenuhi kriteria standar mutu/spesifikasi yang ditetapkan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini