Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Penjualan tiket Garuda Indonesia saat ini dari Jepang ke Indonesia turun 90% dibandingkan sebelum pandemi corona muncul.
"Penjualan tiket Garuda Indonesia dari Jepang ke Indonesia saat ini berkurang 90% dibandingkan sebelum corona muncul," ungkap Lutfi Bakhtiyar, SIP, MA, pengamat penerbangan dan eksekutif perusahaan travel di Tokyo Jepang khusus kepada Tribunnews.com Senin (24/1/2022).
Saat itu, tambah Lutfi, Garuda masih berangkat dari Narita, Haneda dan Osaka.
"Kini penerbangan ke Indonesia hanya ke Jakarta lewat bandara Haneda saja. Yang lewat Narita masih belum pasti," tambahnya.
Selain itu Lutfi juga menekankan bahwa warga Jepang saat ini enggan ke Indonesia.
"WN Jepang tidak mau ke Indonesia karena harus mengambil single visa dan terlalu memakan waktu untuk karantina," tekannya lagi.
Demikian pula, tambahnya, sebelum ke kota lain di Indonesia wajib karantina di Jakarta.
"Bagaikan sudah jatuh tertimpa tangga, Garuda Indonesia yang telah divonis technical bankcruptcy atau mustahil bisa membayar kewajibannya, terus dirundung masalah. Sedang saat ini hanya bisa mengoperasikan 35 pesawat dari 200 pesawat yang pernah diterbangkan."
Musibah lain seolah memporakporandakan national carrier flag kebanggaan Indonesia itu setelah menteri BUMN Erick Thohir melakukan bersih-bersih dengan melaporkan hasil audit investigasi pembelian pesawat ATR 72600 pada masa kepemimpinan Emirsyah Satar, tambahnya.
"Tanpa berfikir positif, masalahnya akan semakin rumit, laiknya virus corona yang mematikan karena berkomplikasi dengan penyakit bawaan. Toh saat ini tidak ada perusahaan pesawat komersial yang untung. Bedanya Garuda memiliki “beban sejarah hutang” yang sangat akut," paparnya lagi.
Menurut Lutfi, jika merujuk kepada “literatur klasik” tentang middle class di Indonesia, kaum kelas menengah ternyata tidak mampu membawa perubahan sebagai agent of change ke arah demokratisasi politik ataupun pemerataan ekonomi. Ujung-ujungnya pasti bermuara kepada mentalitas rent seeker, kapitalis memburu rente.
"Pastinya yang disebut kapitalis bukan hanya pemilik saham Garuda tetapi juga eksekutif tingkat manajer bahkan awak pesawat yang bisa mengintervensi kebijakan. Di gaya hidup “hedon” pegawai Garuda kan terkenal hingga berujung hukum."
Pertanyaannya biaya gaya hidupnya dari mana? Ternyata dari pendapatan perusahaan, bukan profit, hingga menggerogoti assetnya, tekannya lagi.
"Saat ini secara teknis Garuda tidak ada masalah karena pemerintah berkomitmen untuk melakukan restrukturisasi. Jadi jangan ada kegalauan yang rentan dipolitisasi jelang pemilu, “Garuda mau dibangkrutkan apa bagaimana?” Kemudian menuduh pemerintah tidak nasionalis dan sebagainya."
Yang krusial sebenarnya dan patut dicermati adalah komitmen Garuda untuk berinstrospeksi ke dalam khususnya soal human resouces menyangkut integritas dan kapabilitas para pegawai Garuda itu sendiri, lanjutnya.
"Garuda hanya butuh seorang jenderal lapangan yang tahu seluk-beluk masalah penerbangan, tahu persis kemampuan anak buahnya, bagaimana menghadapi customer sekaligus mampu berkomunikasi dengan para stake holder di tengah kebijakan Garuda yang semakin terpusat hingga mereka yakin maskapai ini memiliki masa depan yang cerah."
Menurut Lutfi, mayoritas rakyat Indonesia pasti menginginkan Garuda Kembali sehat. Diskusi perjalanan ke Jepang pun ramai dibicarakan kelompok pecinta Jepang.
"Tetapi tidak tertutup kemungkinan pula bahwa jangan-jangan pemerintah ternyata tidak sedang mengobati atau merestrukturisasi Garuda yang sedang sakit, tetapi Garuda sendiri sudah menjadi zombie karena tidak adanya lagi kepemimpinan yang memiliki jiwa entepreneurship yang bisa diandalkan. Seperti mentalitas rent seeker yang sebenarnya menggambarkan ciri pengusaha Indonesia zaman Orde baru ternyata masih terwarisi hingga sekarang," papar Lutfi lebih lanjut.