TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan memperketat pengawasan perdagangan aset kripto.
Plt Kepala Bappebti Indrasari Wisnu Wardhana mengatakan, setiap produk aset kripto harus didaftarkan ke Bappebti, sehingga jenis aset kripto yang tidak sesuai dengan peraturan maka tidak dapat diperdagangkan di Indonesia.
“Aset Kripto baru yang akan diperdagangkan terlebih dahulu harus didaftarkan kepada Bappebti melalui calon pedagang fisik aset kripto yang sudah terdaftar untuk dilakukan penilaian berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan."
"Penetapan aset kripto dilakukan melalui metode penilaian Analytical Hierarchy Process (AHP) yang memiliki beberapa kriteria penilaian," kata Wisnu, Senin (14/2/2022).
Menurutnya, Bappebti telah mengeluarkan Peraturan Bappebti Nomor 8 Tahun 2021, di mana dalam regulasi itu disebutkan syarat aset kripto yang dapat diperdagangkan di pasar fisik aset kripto.
Baca juga: Bappebti: Perdagangan Kripto Terdaftar Pasti Ada Perlindungan bagi Investor
Aset Kripto yang dapat diperdagangkan di dalam negeri mengacu pada Peraturan Bappebti Nomor 7 Tahun 2020 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto yang dapat Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto.
Saat ini, kata Wisnu, Bappebti telah menetapkan 229 jenis aset kripto yang dapat diperdagangkan di pasar fisik aset kripto, sehingga pedagang aset kripto hanya dapat memperdagangkan jenis aset kripto yang sudah ditetapkan oleh Kepala Bappebti.
Baca juga: Waspada, Kasus Penipuan Asmara Kripto Meningkat Menjelang Perayaan Valentine
“Diharapkan masyarakat dapat berinvestasi pada koin atau jenis aset kripto yang telah ditetapkan pada Peraturan Bappebti tersebut,” ujar Wisnu.
Terkait dengan aset kripto Indonesia buatan anak bangsa, pada prinsipnya Wisnu melihat sebagai hal positif, sepanjang sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku, maka aset kripto buatan dalam negeri dapat diperdagangkan.
Baca juga: Transaksi Kripto Kian Meluas, PKS Ingatkan Jangan Terjebak Euforia
Wisnu mengimbau masyarakat memahami terlebih dahulu mekanisme dan risiko sebelum memutuskan berinvestasi aset kripto.
“Masyarakat juga harus memastikan jenis aset kripto yang secara legal telah ditetapkan oleh Bappebti dan dipastikan diperdagangkan pada calon pedagang fisik aset kripto yang telah memiliki tanda daftar dari Bappebti," paparnya.
Bukan Alat Pembayaran
Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Pasar Bappebti Tirta Karma menerangkan bahwa kripto yang disahkan di Indonesia bukan sebagai alat pembayaran, melainkan berperan sebagai komoditi.
Sehingga tidak ada potensi untuk merusak stabilitas keuangan. Hal itu, kata dia, sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang bahwa alat pembayaran yang sah di dalam negeri adalah Rupiah.
"Sehingga sistem keuangan nasional tetap menggunakan rupiah. Adapun aset kripto di dalam negeri dikategorikan sebagai komoditi sesuai Undang Undang No 10 tahun 2011 tentang perdagangan berjangka komoditi,” ujar Tirta.
Tirta menjelaskan bahwa sebagai komoditi untuk investasi, tiap aset kripto mempunyai karakter berbeda fluktuasinya.
"Maka kami menetapkan jenis aset kripto yang layak diperdagangkan yang sudah dilakukan penilaian sesuai ketentuan Peraturan Bappebti No. 7/2020," kata Tirta.
Di sisi lain, lanjut dia, Bappebti sebagai otoritas yang mengawasi, berkomitmen memberikan jaminan keamanan perdagangan aset kripto, karena itu ada kewajiban pedagang aset kripto harus terdaftar.
“Sesuai Perbappebti Nomor 8 Tahun 2021 termasuk nantinya pembentukan bursa kripto beserta kliring dan kustodi untuk memudahkan pelaporan transaksi, penjaminan keuangan dan aset kriptonya sendiri,” jelas Tirta.
Sementara itu, Ketua Satgas Waspada Investasi OJK Tongam L. Tobing mengklarifikasi bahwa OJK tidak melarang perbankan untuk melayani transaksi keuangan pedagang aset kripto. Perbankan, menurut Tongam, tetap melayani transaksi jasa keuangan nasabahnya.
Sebagai lembaga intermediasi, bank menghimpun dana dari masyarakat dan memberikan kredit.
"Pedagang aset kripto atau investor tetap difasilitasi bank untuk kelancaran transaksi keuangannya maupun untuk kebutuhan pendanaan," ujarnya.
Klarifikasi itu berkaitan dengan pernyataan sebelumnya yang dinilai merupakan pelarangan dari OJK kepada perbankan untuk tidak memfasilitasi transaksi kripto.
Padahal, kata Tongam, maksud OJK adalah melarang bank menggunakan atau memfasilitasi perdagangan aset kripto.
Tongam menambahkan, larangan tersebut merupakan amanat UU Perbankan. Dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU Perbankan diatur jenis usaha bank.
"Di sana tidak ada diatur kegiatan usaha perdagangan komoditi. Dalam Pasal 10 UU tersebut diatur juga bahwa bank dilarang melakukan kegiatan usaha selain yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7. Bank dilarang misalnya menjadi agen penjual bitcoin, atau menempatkan aset dalam bentuk bitcoin,” tutur Tongam.
Sebelumnya, beberapa pihak menyoroti keberadaan perdagangan kripto sebagai investasi berisiko dan bahkan marak penipuan. Satu di antaranya pernyataan dari Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati yang mengimbau kalangan milenial agar memilih opsi lain dalam berinvestasi.
Dia menyorot karakter fluktuatif dari kripto yang berpotensi merongrong stabilitas keuangan. Terlebih lagi, pengguna kripto mengalami lonjakan drastis dalam beberapa tahun belakangan.
Naik Drastis
Aktivitas transaksi mata uang kripto (cryptocurrency) naik lebih dari 100 persen pada kurun akhir 2020 hingga 2021 dibanding jenis investasi digital lainnya.
Pembeli kripto menurut hasil riset Katadata Insight Center (KIC) didominasi usia muda (generasi Y dan Z).
Deputy Head Katadata Insight Center Stevanny Limuria menjelaskan survei ini juga mengulas mengenai perilaku dalam investasi.
Dalam survei ini diketahui, meski jumlah investor mata uang kripto meningkat, nilai investasi mereka masih kecil.
“Dalam survei ini, 45,8 persen pembeli Cryptocurrency hanya berinvestasi kurang dari 1 juta rupiah,” kata Stevanny.
Stevanny mengatakan, selain nilai investasi umumnya masih kecil, pembeli Crypto dari Gen Z dan Y mempersepsikan jenis investasi ini sebagai investasi paling berisiko, diikuti Forex dan Saham.
Pembeli Kripto terbanyak berasal dari Generasi Y (64 persen), diikuti Generasi Z (23 persen) baru Gen X (12 persen).
Pola yang hampir mirip terjadi pada jenis investasi Peer to Peer Lending. Peningkatan juga terjadi pada setahun terakhir.
Namun pada jenis ini, lonjakan tak setinggi Crypto. Para investor Peer to Peer Lending yang mengaku investasi kurang dari 1 tahun saat survei dilakukan sebanyak 42,2 persen, sedang yang sudah membeli sejak 1-2 sebelumnya, sebanyak 32,9 persen.
Peningkatan investasi pada jenis investasi digital juga terlihat pada saham, reksadana, obligasi dan forex. (Tribun Network/nas/nis/sen/wly)