TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia sebagai negara yang kaya komoditas dinilai memiliki posisi strategis atas konflik geopolitik antara Rusia-Ukraina.
Sejumlah pengamat pasar modal memproyeksikan hal tersebut akan mendorong optimisme harga komoditas, pasar modal dan ekonomi di Tanah Air.
Founder of Forum Saham, Tape Trader8 & Beta Trader Yuzha Sha menjelaskan tulang punggung ekspor dari Rusia adalah komoditas. Mulai dari minyak, gas, batu bara, hingga barang mineral hasil olahan tambang seperti tembaga, berlian dan emas.
Baca juga: Konflik Rusia-Ukraina Diawali Masalah Etnis, Nation Building Dinilai Penting bagi Negara Ragam Etnis
Konflik geopolitik Rusia-Ukraina mendorong kekhawatiran menipisnya pasokan nikel dunia. Pasalnya, pada 2021 saja ekspor nikel Rusia menurun 66,5 persen menjadi 45.400 ton dari 135.000 ton pada tahun sebelumnya. Sedangkan Indonesia adalah salah satu negara penghasil nikel terbesar di dunia.
Menurut data badan survei geologis Amerika Serikat (AS) atau US Geological Survey, produksi nikel Indonesia mencapai 1 juta metrik ton pada 2021 atau menyumbang 37,04 persen nikel dunia.
Baca juga: Rusia Invasi Ukraina, Harga Pupuk dan Gandum Diprediksi Naik, Bagaimana dengan Harga BBM ?
“Ini akan menjadi salah satu potensi yang menjadikan ekonomi Indonesia hebat kembali. Karena seperti yang kita tahu bahwa key resource yang ada di dunia ini , sebagai contoh untuk nikel hanya ada beberapa country yang mempunyai jutaan ton di dalamnya. Dan belum ada yang bisa menggantikan energi semurah coal. Jadi memang ini menarik terutama untuk komoditi baik itu nikel, coal, cooper, aluminium dan lain-lain,” ujar Yuzha dalam acara Investment Talk bertema Ekonomi Indonesia Hebat, Minggu (27/2/2022).
Baca juga: Peneliti Manfaatkan Google Maps untuk Melacak Pergerakan Warga Ukraina hingga Pasukan Militer Rusia
Di sisi lain, karena konflik tersebut Rusia tengah menghadapi sanksi boikot ekonomi dari dunia internasional yang tentunya mengganggu ekspor negeri Beruang Merah tersebut. Sehingga pasokan komoditas dari Rusia kepada dunia perlu digantikan oleh negara-negara pesaingnya. Salah satunya untuk batu bara adalah Indonesia.
Sebagai gambaran, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat ekspor batu bara pada 2021 mencapai 435 juta ton. Jumlah ekspor tersebut meningkat tipis dibandingkan dengan pencapaian 2020 yang sebanyak 433,8 juta ton.
Hal itu, lanjut dia, bisa kembali mendorong super siklus komoditas yang membuat harga komoditas pada tahun 1950-an hingga 1960-an naik tinggi. Juga pada awal dekade 2000-an. Berkaca pada 2001, penaikan komoditas tersebut berlangsung dalam kurun 3-4 tahun atau maksimal 5 tahun.
Kendati demikian, menurutnya kondisi ekonomi global akan lebih baik jika konflik (invasi Rusia ke Ukraina) segera berakhir. Karena hal itu dapat menjaga momentum pertumbuhan ekonomi global pasca terhantam pandemi.
Dia pun menyebutkan, ke depan investor pun harus memperhatikan faktor lain, yakni pada 2025 Uni Eropa menetapkan kebijakan nir-karbon. Seperti diketahui, batu bara selalu menjadi kontroversi ketika terkait emisi.
“Analisa saya, komoditas memang akan berjaya tetapi potensi akan ada yang sunset komoditas terutama untuk fuel. Kalau saya akan lebih melihat ke nikel, sebagai alternatif-alternatif komoditas yang telah menjadi bagian dari hidup kita. Kebutuhan sehari-hari dalam komunikasi, transaksi seperti kebutuhan saat ini, akan kebutuhan penggunana handphone, smart card dan lain lain. dimana terdapat juga komoditas-komoditas basic yang ada di dalam produk-produk tersebut. Hal ini mempunyai potensi untuk mendorong produksi dan otomatis mendorong super siklus komoditas terjadi,” urainya.
Dengan pertumbuhan itu, kata dia, akan mendorong inflasi karena masyarakat lebih konsumtif sehingga membutuhkan banyak uang beredar. Hal ini akan mendorong kebutuhan cadangan emas negara. Yang tentunya akan mengatrol harga logam mulia.
Adapun soal minyak sawit mentah atau CPO, Yuzha menjelaskan akan sangat bergantung pada ketentuan dari Eropa dan mengikuti harga minyak mentah.
Cermati Lebih Dalam
Senior Portfolio Manager of Samuel Aset Manajemen Agung Ramadoni mengakui bahwa hampir semua harga komoditas dalam kurun satu tahun terakhir meningkat cukup tajam, mendekati level commodity boom pada 2010-2011.
Namun hal ini perlu dicermati lebih dalam akankah berkelanjutan atau tidak. Hal itu menurutnya akan tergantung dari oil capital expenditure (capex) dari mayoritas perusahaan minyak di dunia.
Oleh karena itu, untuk mestimulus mayoritas perusahaan minyak dunia mengeluarkan capex secara progresif, kondisi politik global harus lebih stabil dengan berhentinya konflik di Eropa.
Baca juga: BEI Sebut Data Perdagangan Saham Positif, Tak Terpengaruh Invasi Rusia ke Ukraina
“Sejauh ini capex mereka dibandingkan dengan 2011 atau 2014 masih terbilang jauh. Dari segi inventory masih sangat rendah. Baik dari copper, nickel, aluminium, dan timah masih terbilang rendah. Masih in early stage bagi commodity price saat ini. Jadi kita tunggu,” ujarnya.
Meski demikian, Agung melihat ekonomi dalam negeri dengan penuh optimisme. Misalnya di sektor ritel yang mulai ada perbaikan sejak 2020 lalu yang jatuh akibat terhantam pandemi. Dari perbankan, likuiditas melimpah dengan tingkat kredit bermasalah yang terkendali.
Hal itu pun mendorong ekonomi pulih lebih baik. Sehingga terlihat dari penjualan produk otomotif dan properti yang meningkat.
Dalam kesempatan yang sama, Founder of GaleriSaham.com Rio Rizaldi mengimbau untuk bersikap lebih hati-hati dalam berinvestasi. Kendati ekonomi Indonesia lebih dipenuhi sentimen optimisme pasca pandemi, menurutnya jangan reaktif dengan sentimen akibat gejolak geopolitik.
Analisa pasar, rekam jejak data, kondisi makro dan mikro perlu lebih dipahami dalam menyikapi perkembangan ekonomi. Indikator-indikator ekonomi menurutnya harus dilihat untuk menentukan price action.
Baca juga: Bursa Saham AS Berakhir Naik Tajam, Nasdaq Naik 3 Persen
Di mana pasokan dan permintaan sangat berpengaruh termasuk sentimen positif maupun pesimisme. Oleh karena itu, sebenarnya lebih baik jika kondisi ekonomi bertumbuh pada kondisi ideal tanpa adanya konflik seperti yang sedang terjadi di Benua Biru.
“Investor harus tahu konsep dasar pergerakan harga. Market juga kompleks, tidak hanya melihat impact perang Rusia vs Ukraina, tapi proyeksi ekonomi Indonesia, defisit neraca perdagangan, dan lainnya. Untuk itu, investor perlu aware untuk sentimen market sekarang dan akan datang tetapi tidak perlu reaktif terhadap berita-berita sekarang,” ujarnya.
Dia pun menekankan bahwa investor di dalam negeri jangan panik menghadapi sentimen konflik Rusia-Ukraina terhadap pasar, yang kemudian menjual sahamnya. Dengan selalu melihat kondisi fundamental usaha emiten.
“Sebagai investor harus mengikuti konsep pebisnis yaitu mencari jalan supaya survive. Mereka berusaha tetap bertahan bahkan growing dalam kondisi apapun. Mungkin trader bisa mengikuti pebisnis. Sehingga lebih siap dengan segala keadaan dan berusaha terus tumbuh,” ujarnya.
Sementara itu, Founder of Syariah Saham Asep M. Saepul Islam atau akrab disapa Mang Amsi dalam acara tersebut memberikan rekomendasi saham emiten dalam konteks sentimen masalah geopolitik Rusia-Ukraina. Dia mengatakan investor bisa berinvestasi pada saham-saham emiten yang terimbas dampak positif dari isu tersebut. Seperti UNTR, AALI, INCO, BTPS, ITMG, hingga SIDO.
“Ini karena mereka sudah rilis laporan akhir tahun dan kinerjanya signifikan naik. Kalau yang full year 2021 membukukan kinerja moncer, terlebih lagi ditopang kenaikan harga CPO, nikel dan batu bara untuk ITMG, AALI, INCO dan UNTR. Rasio utangnya masih di bawah 1 (DER < 1),” tutupnya.