Laporan Wartawan Tribunnews, Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Operasi militer Rusia ke Ukraina memaksa beberapa negara dunia melayangkan sanksi ekonomi pada negara pimpinan Vladimir Putin.
Tak lama dari aksi pemblokiran sejumlah bank Rusia oleh sistem pembayaran internasional SWIFT. Kini Rubel mata uang Rusia dikabarkan mengalami penurunan drastis pada Senin (28/2/2022).
Imbas dari pemblokiran SWIFT membuat investor lama Rusia mulai berbondong-bondong mencari zona aman dengan melakukan investasi safe-haven, pada dolar AS dan yen.
Baca juga: Masuk Daftar Hitam, Perusahaan Asal Rusia Tak Bisa Ikut Pameran Mobile World Congress
Akibatnya kini Rubel terjun ke angka 29 persen pada pekan ini dengan 119 per dolar AS. Penurunan drastis ini membuat Rusia mencetak nilai kerugian baru sepanjang tahun 2022.
Bahkan diprediksi anjloknya nilai tukar Rubel, akan terus berlanjut hingga batas waktu yang tak bisa ditentukan.
“Begitu bisnis dibuka di Vladivostok, tidak ada seorang pun di dunia yang ingin membeli rubel, bahkan Bank Sentral Rusia,” kata Tim Harcourt, kepala ekonom di Institute for Public Policy and Governance di University of Technology Sydney
Mengutip dari Al Jazeera, tak hanya Rubel bahkan imbas dari sanksi ekonomi yang dilayangkan negara barat juga berakibat pada anjloknya nilai Euro yang turun 0,76 persen dengan nilai 1,118 dolar AS.
Baca juga: Taiwan Ancam Beri Sanksi kepada Rusia, Bakal Batasi Peredaran Chip
Bahkan hal ini juga menyebabkan terjunnya nilai saham Aussie hingga 0,75 persen menjadi 0,7183 dolar AS. Serta Selandia Baru yang juga ikut terperosok 0,79 persen menjadi 0,66915 dolar AS.
Ahli strategi keuangan bank Westpac mengatakan penurunan berbagai mata uang merupakan dampak nyata dari panasnya situasi Ukraina dan Rusia.
Hal ini terjadi karena adanya risiko geopolitik yang membuat pasar terpaksa meninggalkan tempat yang aman dan berpaling ke USD.