TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Pertamina memutuskan untuk tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite di tengah lonjakan harga minyak mentah.
Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero), Fajriyah Usman mengatakan, kebijakan ini didasari oleh pertimbangan untuk menjaga daya beli masyarakat yang saat ini banyak menggunakan Pertalite.
Pertamina sebagai BUMN yang berperan dalam mengelola energi nasional sangat mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dalam penetapan harga produk BBM.
Baca juga: Pertamina: BBM Jenis Pertalite Tidak Naik Meski Harga Minyak Dunia Melonjak
Di sisi lain, Dewan Energi Nasional (DEN) mengingatkan Pertamina agar pasokan BBM jenis Pertalite tetap tersedia di tengah gejolak kenaikan harga minyak dunia.
Seperti diketahui, harga minyak mentah terus mendidih. Pada Rabu (9/3) pukul 07.00 WIB misalnya, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman April 2022 di New York Mercantile Exchange sempat berada di level US$ 125,32 per barel.
Di tengah tren kenaikan harga minyak mentah itu, harga jual Pertalite, yang memiliki porsi konsumsi 52% dari konsumsi BBM nasional, berada dalam kisaran Rp 7.650 hingga Rp 8.000 per liter, bergantung lokasi.
Dengan harga itu, harga Pertalite yang memiliki real octane number (RON) 90 dan dijual oleh Pertamina ini masih relatif lebih murah jika dibandingkan dengan BBM RON 90 yang dijual oleh sejumlah badan usaha lain.
Baca juga: Polisi Tangap IRT Penjual Bensin Eceran Oplosan Pertalite dan Minyak Hitam di Sumatera Selatan
Bandingkan saja misalnya dengan BP 90 yang dijual di SPBU BP-AKR dengan harga Rp 11.990 per liter ataupun Revvo 90 yang dijual Vivo dengan harga Rp 8.900 per liter.
Apalagi BBM dengan kadar oktan (RON) 90 yang dijual Pertamina ini paling murah dibandingkan produk serupa dari pesaing, selain penggunaannya juga paling banyak dibandingkan jenis BBM lainnya.
Sepanjang 2021, konsumsi Pertalite mencapai 23 juta Kilo Liter (KL), naik 30% dibandingkan 2020 yang tercatat 18 juta KL. Peningkatan penggunaan BBM Pertalite itu buntut dari masyarakat yang cenderung lebih memilih bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
Satya Wira Yudha, Anggota DEN, mengatakan dalam upaya mengamankan pasokan Pertalite diperlukan penegakan hukum dari aparat keamanan agar tidak terjadi kelangkaan. Langkah ini juga penting untuk mencegah adanya potensi tindakan dari pihak yang ingin mengambil keuntungan sepihak seperti mengoplos atau penimbunan BBM.
“Pengaturan penggunaan Pertalite itu jadi kepentingan bersama. Penegakan hukum oleh aparat ini bisa langsung melakukan tindakan, peranan penegak hukum sangat besar. Jangan sampai ada upaya penimbunan,” ujar Satya dalam diskusi virtual, kemarin.
Menurut Satya, penegakan hukum (law enforcement) akan menjadi kunci supaya tidak terjadi penyelewengan di lapangan. Satya tidak menampik apabila ada komoditas yang sama tetapi memiliki dua harga yang bebeda, pasti ada saja yang ingin memanfaatkan perbedaan harga tersebut untuk keuntungan sendiri. “Itu yang harus mendapatkan sorotan dari penegak hukum agar tidak ada orang berebut, dan chaos,” katanya.
Potensi penyalahgunaan Pertalite cukup tinggi apalagi harganya paling murah dibandingkan pesaing. Di sisi lain, harga Pertalite juga tak pernah naik sejak tiga tahun lalu. Pada 5 Januari 2019, Pertamina bahkan menurunkan harga Pertalite dari Rp7.800 menjadi Rp7.650 per liter untuk wilayah Jadebotabek.