News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pengamat Minta Akademisi Lebih Kritis Tanggapi Wacana Penerapan Aturan Pelabelan Risiko BPA

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi makanan olahan

TRIBUNNEWS.COM - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyusun draft revisi Peraturan BPOM tentang Label Pangan Olahan. Dalam draft tersebut BPOM mengharuskan produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat untuk mencantumkan keterangan "Berpotensi Mengandung BPA".

Saat ini, diketahui draft rancangan peraturan pelabelan potensi bahaya Bisfenol-A (BPA) tersebut tengah dalam proses pengesahan di Sekretariat Kabinet.

Terkait hal ini, pemerhati ekonomi sirkular dari Nusantara Circular Economy & Sustainability Initiatives (NCESI), Yusra Abdi meminta agar kalangan akademisi untuk lebih kritis dan tidak menentang rencana strategis BPOM.

Baca juga: BPOM Setujui Perpanjangan Masa Kedaluwarsa Enam Vaksin Covid-19 Ini

"Menyudutkan BPOM yang justru ingin melindungi kesehatan publik dengan mempersoalkan kemungkinan membengkaknya sampah plastik sekali pakai pasca berlakunya kebijakan pelabelan BPA sama saja memberi angin pada lobi industri," kata Yusra.

Menurutnya, BPOM mengambil tindakan ini karena sebatas ingin memberlakukan kebijakan pencantuman label peringatan atas risiko BPA agar konsumen air minum galon mendapat informasi menyeluruh, sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Ia turut mengutip beberapa data mengenai kecenderungan industri air galon yang kini tengah beralih kepada kemasan PET, baik guna ulang maupun selalu baru.

Baca juga: BPOM Temukan 6 Merek Kopi Kemasan yang Mengandung Paracetamol dan Sildenafil, Ini Efek Sampingnya

“Selain lebih murah, tingkat recycling rate paling tinggi, juga lebih aman dari resiko kesehatan. Diperkirakan 50% lebih air kemasan galon sudah menggunakan kemasan PET,” pungkas Yusra.

Pemerhati ekonomi sirkular: akademisi jangan salah kaprah

Pendapat ini dijelaskan Yusra sebagai tanggapan dari pernyataan Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Stratejik Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran, Martha Fani Cahyandito yang mempertanyakan efektivitas rencana pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang dalam sebuah webinar bertajuk "Menuju Transformasi Ekonomi Hijau: Kendala dan Solusi" pada Rabu, 16 Maret 2022 lalu. 

Menurut Fani, pelabelan BPA bisa memicu peningkatan sampah plastik, di mana publik akan tergerak beralih ke galon sekali pakai yang bebas BPA.

Baca juga: Kopi Mengandung Viagra Beredar dengan Izin Palsu BPOM, Bahayanya Bisa Picu Kanker dan Kematian

Fani juga menggambarkan rencana pelabelan BPA dapat memicu persaingan usaha serta kemungkinan dampaknya pada pengurangan tenaga kerja di industri AMDK.

Namun demikian, Yusra menjelaskan bahwa kritik semacam itu merupakan hal yang salah kaprah dan praktis hanya mendaur ulang penentangan dari pihak industri dan juga asosiasi pengusaha AMDK.

Bila mau jujur, ujar Yusra, semua air mineral non-galon yang beredar di pasar, kecuali kemasan gelas yang berbahan plastik polypropylene, menggunakan kemasan plastik sekali pakai dari jenis Polyethylene Terephthalate (PET), plastik lunak yang bebas BPA. 

"Bila masalahnya memang plastik sekali pakai, kenapa asosiasi industri tidak pernah mempersoalkan potensi sampah dari penjualan produk sekali pakai yang masif itu?" ujar Yusra.

Baca juga: 5 Obat Covid-19 Tak Lagi Digunakan, BPOM: Belum Ada Data Uji Klinik Terkait Keamanan dan Khasiatnya

Dia menyatakan, persoalan sampah plastik air kemasan yang tercecer di lingkungan dipicu beragam faktor. Salah satunya adalah tingginya produksi kemasan ukuran gelas yang lebih mudah tercecer dan mengotori lingkungan.

Faktor lain adalah adalah rendahnya kesadaran masyarakat dalam memilah sampah plastik, sehingga plastik yang seharusnya didaur ulang oleh industri justru tercecer di lingkungan terbuka.

Terlebih, menurut Yusra, BPOM juga tidak melarang penggunaan galon guna ulang dari plastik keras atau sebaliknya mendorong publik mengkonsumsi galon dari plastik lunak yang bebas BPA.

BPOM hanya mengatur kewajiban bagi produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat untuk mencantumkan keterangan "Berpotensi Mengandung BPA".

Namun, BPOM juga memberlakukan pengecualian bagi produsen yang mampu membuktikan sebaliknya via pengujian laboratorium terakreditasi atau laboratorium pemerintah.

Sementara untuk produsen AMDK yang menggunakan plastik selain polikarbonat, rancangan peraturan membolehkan untuk mencantumkan label "Bebas BPA".

Baca juga: Kopi Mengandung Viagra Beredar dengan Izin Palsu BPOM, Bahayanya Bisa Picu Kanker dan Kematian

Selain itu, produsen air galon yang menggunakan kemasan polikarbonat pun diberi kurun waktu tiga tahun sejak peraturan disahkan untuk wajib mulai mencantumkan label "Berpotensi Mengandung BPA".

BPOM temukan kecenderungan yang mengkhawatirkan

Sebagaimana diketahui, akhir Desember 2021 silam, Kepala BPOM Penny K. Lukito mengimbau industri AMDK untuk ikut serta memikirkan potensi bahaya BPA pada air minum galon berbahan plastik keras polikarbonat yang beredar luar di masyarakat. 

"Saya mengajak pelaku usaha, utamanya industri besar, untuk ikut memikul tanggung jawab melindungi masyarakat karena ada risiko BPA yang terkait dengan aspek kesehatan, termasuk fertility (tingkat kesuburan wanita) dan hal-hal lain yang belum kita ketahui saat ini," kata Penny.

Pada 30 Januari 2022, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Rita Endang dikutip kantor berita Antara mengungkap bahwa pihaknya menemukan "sejumlah kecenderungan mengkhawatirkan" terkait migrasi BPA pada galon guna ulang berbahan polikarbonat. 

Penemuan itu diperoleh dari hasil uji post-market yang dilakukan BPOM selama periode 2021-2022 dengan sampel yang diambil dari seluruh Indonesia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini