TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebuah produk lemari pendingin atau kulkas pernah mendapatkan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2018 lalu.
Direktur Utama LPPOM MUI Muti Arintawati menjelaskan alasan pihaknya memberikan label halal untuk kulkas tersebut.
Menurut Muti, pemberian sertifikasi halal itu merupakan amanat dari Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. "Waktu itu kan 2014 keluar UU JPH dan salah satu yang wajib disertifikasi adalah yang disebut dengan barang gunaan," ujar Muti dalam dialog Tribun Corner, Jumat (18/3/2022).
Baca juga: Biaya Tertinggi Sertifikasi Halal di BPJPH Capai Rp 21 Juta
Masyarakat, kata Muti waktu itu belum mengetahui definisi mengenai barang gunaan. Hal ini disebabkan belum adanya aturan turunan dari UU Jaminan Produk Halal dan terjemahan terkait barang gunaan.
Sehingga banyak produsen yang mengajukan untuk mendapatkan sertifikasi halal.
"Kemudian banyak pihak yang ingin duluan disertifikasi. Kemudian masuk pengajuan ke MUI," ujar Muti.
Akhirnya Komisi Fatwa memberikan batasan mengenai barang gunaan yang perlu mendapatkan sertifikasi halal. Barang gunaan yang boleh disertifikasi, menurut MUI, adalah yang kontak langsung dengan produk yang dikonsumsi.
Kulkas masuk kategori dalam barang yang disertifikasi karena bersentuhan dengan makanan. "Misal kulkas, itu kita simpan makanan. Makanannya kontak langsung. Kalau seperti itu perlu disertifikasi. Jadi boleh disertifikasi," jelas Muti.
LPPOM MUI, kata Muti, melakukan audit kehalalan pada bahan pembuatnya untuk memastikan tidak ada bahan yang tidak halal. "Bahan pembuatnya yang dipastikan tidak ada bahan, misalkan ada bahan tertentu yg dari turunan lemak misalnya. Itu yang kemudian dipastikan," jelas Muti.
Selain kulkas, ternyata kaus kaki juga pernah disertifikasi karena bersentuhan langsung dengan tubuh. "Kaus kaki pernah kita sertifikasi karena itu kontak langsung dengan tubuh. Dan dipakai untuk ibadah, masih diterima untuk sertifikasi," ujar Muti.
Muti Arintawati juga mengungkapkan berbagai produk di tanah air pernah mengajukan sertifikasi halal kepada MUI. Meski begitu, Muti mengungkapkan ada beberapa produk yang tidak seharusnya disertifikasi, namun mengajukan sertifikasi halal.
Muti mencontohkan produsen ban sempat mengajukan sertifikasi halal kepada MUI, namun akhirnya ditolak. "Tidak semua diterima, ada juga yang aneh kita tolak. Ban mobil misalnya ada yang daftar. Ngapain disertifikasi," ucap Muti.
Bahkan ada produsen aspal yang juga mengajukan sertifikasi halal kepada MUI. MUI kembali menolak karena dinilai tidak ada relevansi produk itu untuk mendapatkan sertifikasi halal.
"Aspal ada yang daftar. Minta disertifikasi, ya ditolak oleh MUI. MUI kan bukan sifatnya mengada ada. Waktu itu kan karena ada yang meminta, makanya dilihat relevan atau tidak," jelas Muti.
Pemberian sertifikasi halal itu merupakan amanat dari Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Dalam undang-undang tersebut, barang gunaan adalah yang wajib disertifikasi halal. Namun produk seperti ban mobil dan aspal, menurut Muti, tidak masuk kategori barang yang bisa disertifikasi halal.
Muti Arintawati mengatakan perubahan label halal nasional merupakan kewenangan dari BPJPH Kementerian Agama. "Kalau kita kembali ke regulasi memang di UU JPH, logo merupakan wewenang BPJPH untuk menentukan," ujar Muti.
"Dari satu sisi ada logo halal yang sudah berjalan di masyarakat. Kalau sesuai regulasi, BPJPH memang punya wewenang menentukan," tambah Muti.
Baca juga: MUI: Biaya Sertifikasi Halal di BPJPH Bisa Lebih Mahal Dibandingkan MUI
Muti mengungkapkan dalam PP 39/2021 Pasal 169 butir d menyebutkan bentuk logo halal yang ditetapkan oleh MUI sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan, tetap dapat digunakan dalam jangka waktu paling lama lima tahun terhitung sejak peraturan pemerintah ini diundangkan.
Meski begitu, Muti mengatakan label halal MUI sudah sangat dikenal oleh masyarakat. Sehingga penggantian label halal, menurut Muti, merupakan tugas yang tidak mudah. "Di satu sisi masyarakat sudah kenal dengan logo halal yang ada, untuk ganti logo baru bukan pekerjaan mudah," kata Muti.
Selain itu, penggantian label bakal berefek kepada pihak produsen. Muti mengatakan perubahan label halal membutuhkan biaya yang besar bagi produsen.
"Produsen yang saat ini sudah bersertifikat halal mereka sudah pasang logo di mana saja. Untuk mengganti, bukan hal yang murah apalagi mereka sudah mencetak. Kalau memang ada penggantian butuh waktu yang cukup," pungkas Muti.
Baca juga: Cerita Kepala LPPOM MUI tentang Produsen Ban Mobil dan Aspal Minta Sertifikasi Halal: Ya Ditolak
Tarif Sertifikasi
Kementerian Agama terhitung 1 Desember 2021 mulai memberlakukan tarif layanan Badan Layanan Umum (BLU) Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Aturan ini tertuang dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 141 Tahun 2021 tentang Penetapan Tarif Layanan BLU BPJPH dan Peraturan BPJPH Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pembayaran Tarif Layanan BLU BPJPH.
"Diterbitkannya Peraturan Tarif Layanan Badan Layanan Umum BPJPH tersebut selanjutnya wajib dipedomani dalam setiap aktivitas layanan yang dilaksanakan oleh BLU BPJPH," ungkap Kepala BPJPH Kemenag, Muhammad Aqil Irham.
Keputusan Kepala BPJPH Nomor 141 tahun 2021 ini merupakan tindak lanjut dari terbitnya Peraturan Menteri Keuangan No.57/PMK.05/2021 tentang Tarif Layanan BLU BPJPH yang telah diundangkan pada 4 Juni 2021. Regulasi ini juga sebagai tindak lanjut atas Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.
"Penetapan peraturan tarif layanan juga wujud komitmen pemerintah untuk memberikan kepastian tarif serta transparansi biaya layanan sertifikasi halal di Indonesia," jelas Aqil.
Keputusan Kepala BPJPH Nomor 141 tahun 2021 mengatur bahwa tarif layanan BLU BPJPH terdiri atas dua jenis, yaitu tarif layanan utama dan tarif layanan penunjang. Tarif layanan utama terdiri atas sertifikasi halal barang dan jasa; akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH); registrasi auditor halal; layanan pelatihan auditor dan penyelia halal; serta sertifikasi kompetensi auditor dan penyelia halal.
Adapun tarif layanan penunjang mencakup penggunaan lahan ruangan, gedung, dan bangunan; penggunaan peralatan dan mesin; penggunaan laboratorium; serta penggunaan kendaraan bermotor. Layanan sertifikasi halal untuk barang dan jasa meliputi: (a) layanan permohonan sertifikasi halal dengan pernyataan pelaku usaha (self declare); (b) layanan permohonan sertifikasi halal; (c) layanan permohonan perpanjangan sertifikat halal; dan (d) layanan registrasi sertifikat halal luar negeri.
Layanan akreditas LPH meliputi: (a) layanan akreditasi LPH; (b) layanan perpanjangan akreditasi LPH; (c) layanan reakreditasi level LPH; (d) layanan penambahan lingkup LPH.
Baca juga: LPPOM MUI: Perubahan Label Halal Wewenang BPJPH
Biaya Self Declare
Ketentuan tarif layanan permohonan sertifikasi halal dengan pernyataan pelaku usaha (self declare) dikenakan tarif Rp 0,00 (nol rupiah) atau tidak dikenai biaya dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara.
Pembebanan biaya layanan permohonan sertifikasi halal dengan pernyataan pelaku usaha berasal dari APBN, APBD, pembiayaan alternatif untuk UMK, pembiayaan dari dana kemitraan, bantuan hibah pemerintah atau lembaga lain, dana bergulir, atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
Pada tahun 2021, besaran pembayaran komponen biaya layanan self declare yang disetorkan pemberi fasilitasi biaya layanan sebesar Rp 300.000,00.
Jumlah ini diperuntukan untuk komponen pendaftaran, komponen pendaftaran, pemeriksaan kelengkapan dokumen dan penerbitan sertifikat halal (Rp25.000,00). Lalu untuk komponen supervisi dan monitoring oleh lembaga pendampingan PPH (Rp25.000,00), untuk komponen insentif pendamping PPH (Rp150.000,00), dan untuk komponen sidang fatwa halal MUI (Rp.100.000,00).
Besaran pembayaran komponen biaya layanan permohonan sertifikasi halal dengan pernyataan pelaku usaha yang dibebankan kepada pemberi fasilitasi pada tahun anggaran 2022 akan disesuaikan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara.
Pihaknya telah menerbitkan Keputusan Kepala BPJPH No 33 Tahun 2022 tentang Juknis Pendamping Proses Produk Halal dalam Penentuan Kewajiban Bersertifikat Halal bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil yang Didasarkan atas Pernyataan Pelaku Usaha.
Surat keputusan ini ditujukan bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UKM) untuk melaksanakan kewajiban bersertifikat halal dengan kriteria produk tidak beresiko atau menggunakan bahan dan proses produksi yang sudah dipastikan kehalalannya.
Dalam keputusan itu dijelaskan bahwa penentuan kewajiban bersertifikat halal bagi pelaku UMK yang didasarkan atas pernyataan pelaku usaha ditentukan menggunakan kriteria sebagai berikut:
1. Produk tidak berisiko atau menggunakan bahan yang sudah dipastikan kehalalannya.
2. Proses produksi yang dipastikan kehalalannya dan sederhana.
3. Memiliki hasil penjualan tahunan (omset) maksimal Rp500juta yang dibuktikan dengan pernyataan mandiri.
4. Memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB).
5. Memiliki lokasi, tempat, dan alat Proses Produk Halal (PPH) yang terpisah dengan lokasi, tempat, dan alat proses produk tidak halal.
6. Memiliki atau tidak memiliki surat izin edar (PIRT/MD/UMOT/UKOT). Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) untuk produk makanan/minuman dengan daya simpan kurang dari 7 (tujuh) hari, atau izin industri lainnya atas produk yang dihasilkan dari dinas/instansi terkait.
7. Memiliki outlet dan/atau fasilitas produksi paling banyak 1 (satu) lokasi.
8. Secara aktif telah berproduksi 1 (satu) tahun sebelum permohonan sertifikasi halal.
9. Produk yang dihasilkan berupa barang (bukan jasa atau usaha restoran, kantin, catering, dan kedai/rumah/warung makan).
10. Bahan yang digunakan sudah dipastikan kehalalannya.
Dibuktikan dengan sertifikat halal, atau termasuk dalam daftar bahan sesuai Keptusan Menteri Agama Nomor 1360 Tahun 2021 tentang Bahan yang dikecualikan dari Kewajiban Bersertifikat Halal
11. Tidak menggunakan bahan yang berbahaya
12. Telah diverifikasi kehalalannya oleh pendamping proses produk halal
13. Jenis produk/kelompok produk yang disertifikasi halal tidak mengandung unsur hewan hasil sembelihan, kecuali berasal dari produsen atau rumah potong hewan/rumah potong unggas yang sudah bersertifikasi halal
14. Menggunakan peralatan produksi dengan teknologi sederhana atau dilakukan secara manual dan/atau semi otomaris (usaha rumahan bukan usaha pabrik)
15. Proses pengawetan produk yang dihasilkan tidak menggunakan teknik radiasi, rekayasa genetika, penggunaan ozon (ozonisasi), dan kombinasi beberapa metode pengawetan (teknologi hurdle)
16. Melengkapi dokumen pengajuan sertifikasi halal dengan mekanisme pernyataan pelaku usaha secara online melalui SIHALAL
Baca juga: Kemenag Rilis Biaya Sertifikasi Halal di Indonesia, Ini Rinciannya
Rincian Tarif Layanan:
Permohonan sertifikasi halal barang dan jasa dengan mekanisme reguler, dikenakan tarif layanan.
Tarif layanan tersebut terdiri atas komponen biaya pendaftaran, pemeriksaan kelengkapan dokumen, pemeriksaan kehalalan produk oleh LPH, penetapan kehalalan produk oleh MUI, dan penerbitan sertifikat halal.
Pembayaran komponen itu disetorkan oleh pelaku usaha ke rekening Badan Layanan Umum BPJPH. Pembayaran dilakukan oleh pelaku usaha setelah LPH menyerahkan rincian biaya kepada BPJPH untuk diterbitkan menjadi satu kesatuan tagihan komponen biaya.
Sebagai contoh biaya permohonan sertifikat halal barang dan jasa milik UMK adalah Rp300.000,00 ditambah biaya pemeriksaan kehalalan produk UMK oleh LPH maksimal sebesar Rp350.000,00. Sehingga total biayanya adalah Rp 650.000,00.
Untuk usaha menengah produk makanan dengan proses/material sederhana, total biayanya Rp 8.000.000,00, terdiri atas biaya permohonan sertifikat Rp 5.000.000,00 dan biaya pemeriksaan LPH maksimal Rp 3.000.000,00.
Berikut ini komponen biaya permohonan Sertifikat Halal untuk Barang dan Jasa (per Sertifikat):
1. Permohonan Sertifikat Halal:
a. Usaha Mikro dan Kecil: Rp300.000,00
b. Usaha Menengah: Rp5.000.000,00
c. Usaha Besar dan/atau berasal dari luar negeri: Rp12.500.000,00
2. Permohonan Perpanjangan Sertifikat Halal:
a. Usaha Mikro dan Kecil: Rp200.000,00
b. Usaha Menengah: Rp2.400.000,00
c. Usaha Besar dan/atau berasal dari luar negeri: Rp5.000.000,00
3. Registrasi Sertifikasi Halal Luar Negeri: Rp800.000
Berikut Daftar Batas Tertinggi Unit Cost Biaya Pemeriksaan Kehalalan Produk Oleh Lembaga Pemeriksa Halal Untuk Pelaku Usaha Mikro Dan Kecil
1. Produk dalam positif list /produk dengan proses/material sederhana: Rp350.000,00
2. Pangan olahan: Rp350.000,00,
3. Obat: Rp350.000,00
4. Kosmetik: Rp350.000,00
5. Barang Gunaan: Rp350.000,00
6. Jasa: Rp350.000,00
7. Restoran/ Katering/ Kantin: Rp350.000,00
8. Rumah Potong Hewan/Unggas dan Jasa Sembelihan: Rp350.000,00
Berikut Daftar Batas Tertinggi Unit Cost Biaya Pemeriksaan Kehalalan Produk oleh Lembaga Pemeriksa Halal Untuk Pelaku Usaha Menengah, Besar Dan/Atau Luar Negeri
1. Produk dalam positif list /produk dengan proses/material sederhana: Rp3.000.000,00
2. Pangan olahan, produk kimiawi, produk mikrobial Rp6.468.750,0
3. Flavour dan Fragrance: Rp7.652.500,00
4. Produk Rekayasa Genetika Rp5.412.500,00
5. Obat, kosmetik, produk biologi Rp5.900.000,00
6. Vaksin Rp21.125.000,00
7. Gelatin Rp7.912.000,00.
8. Barang Gunaan dan Kemasan Rp3.937.000,00
9. Jasa: Rp5.275.000,00
10. Restoran/ Katering/ Kantin Rp3.687.500,00
11. Rumah Potong Hewan/Unggas dan Jasa Sembelihan Rp3.937.000,00. (Tribun Network/fah/wly)