News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pelemahan Saham di Wall Street Terburuk Sejak 2020, Konflik di Ukraina Masih Berperan

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wall Street

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Perdagangan saham di Wall Street mengakhiri penurunan kuartalan terbesar dalam dua tahun.

Terakhir bulan Maret kemarin tiga indeks utama Wall Street kompak melemah.

Pada Kamis (31/3/2022) kemarin, Dow Jones Industrial Average turun 1,56% ke 34.678.

Indeks S&P 500 melorot 1,57% ke 4.538,50. Sedangkan Nasdaq Composite melemah 1,54% ke 14.213,5.

Baca juga: Pasar Asia dan Dow Berjangka Rebound Meskipun Ada Sanksi AS terhadap Rusia

Rebound pasar saham bulan Maret tak mampu menutup penurunan Wall Street sejak awal tahun.

Pada bulan Maret, Dow Jones menguat 2,32%. Indeks S&P naik 3,58% dan Nasdaq menguat 3,41% di bulan ketiga 2022.

Menurut data Bloomberg, Dow Jones turun 4,57% sejak awal tahun. Pada periode yang sama, indeks S&P 500 turun 4,95% dan Nasdaq anjlok 9,10%.

Pada akhir kuartal pertama, perdagangan pasar saham masih diwarnai kekhawatiran tentang konflik yang berkelanjutan di Ukraina dan efeknya pada kenaikan inflasi serta potensi kenaikan suku bunga agresif Federal Reserve.

Baca juga: Kapitalisasi Saham Facebook Ambles 200 Miliar Dolar Gara-gara Tumbangnya Wall Street

Meski optimisme tentang kemungkinan kesepakatan damai antara Ukraina dan Rusia membantu mengangkat saham awal pekan ini, harapan dengan cepat memudar.

Presiden Rusia Vladimir Putin mengancam pada hari Kamis untuk menghentikan kontrak yang memasok sepertiga dari gasnya ke Eropa kecuali jika dibayar dalam rubel.

Amerika Serikat (AS) memberlakukan sanksi baru terkait Rusia. Presiden AS Joe Biden mengumumkan pelepasan terbesar yang pernah ada dari cadangan minyak darurat AS.

Harga saham sensitif terhadap tanda-tanda kemajuan menuju kesepakatan untuk menyelesaikan invasi Rusia ke Ukraina.

Inflasi AS yang sudah tinggi telah meningkat dengan melonjaknya harga komoditas seperti minyak dan logam sejak perang dimulai.

Baca juga: IHSG Tembus Level Psikologis 7.000, Ini Saham-saham dengan Rekomendasi Buy

Ketika harga naik, The Fed menjadi semakin mungkin untuk menjadi lebih agresif dalam menaikkan suku bunga untuk memerangi inflasi. Kenaikan suku bunga yang cepat berpotensi membatasi pertumbuhan ekonomi.

Data pada hari Kamis menunjukkan harga konsumen hampir tidak naik pada Februari karena tekanan harga meningkat, sementara pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) tidak termasuk makanan dan energi naik 0,4%, sesuai dengan ekspektasi.

"Angka PCE keluar hari ini, yang merupakan angka pilihan Fed, dan meskipun itu tepat sasaran, itu lebih tinggi dari bulan lalu, dan akan terus naik.

Oleh karena itu terjadi penurunan di pasar," kata Ken Polcari, Managing Partner di Kace Capital Advisors di Boca Raton, Florida kepada Reuters.

Dia memperkirakan kondisi inflasi ini akan memperkuat Gubernur Th Fed Jerome Powell untuk lebih agresif sehingga akan ada potensi kenaikan 50 basis poin.

Investor akan melihat laporan pekerjaan hari Jumat untuk konfirmasi lebih lanjut pada kekuatan pasar tenaga kerja.

Sektor-sektor defensif seperti real estate dan utilitas termasuk di antara sektor-sektor dengan kinerja terbaik karena dipandang sebagai permainan yang kuat di lingkungan tingkat kenaikan suku bunga.

Energi, sektor dengan kinerja terbaik sepanjang tahun ini dengan kenaikan sekitar 39%, tergelincir karena harga minyak turun.

Harga komoditas energi ini melemah setelah pengumuman Biden mengenai pengucuran cadangan darurat. Sementara OPEC+ tetap pada kesepakatan produksi yang ada. (Wahyu Tri Rahmawati)

Sumber: Kontan

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini