Laporan Wartawan Tribunnews.com, Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, KOLOMBO – Pemerintah Sri Lanka pada Selasa (11/4/2022) mengumumkan default atau gagal bayar atas utang luar negerinya, senilai 51 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 732 triliun (dengan satuan USD Rp 14.365).
Dilansir dari laman Independent.co.uk, default tersebut terjadi imbas dari adanya pandemi serta perang Rusia- Ukraina, yang membuat sebagian besar harga bahan pangan dan kebutuhan impor menjadi naik. Dampak inilah yang kemudian membuat krisis ekonomi Sri Lanka makin memburuk hingga menyebabkan terjadinya inflasi.
Baca juga: Sri Lanka Dilanda Krisis Ekonomi, Indonesia Lakukan Pendataan WNI
Kementerian Keuangan Sri Lanka menyebut jika saat ini negaranya tak hanya gagal membayar utang pada para kreditur internasional atau pemerintah asing, namun pihaknya juga kesulitan untuk membayarkan dana moneter internasional dari IMF
"Peristiwa baru-baru ini telah mengikis posisi fiskal Sri Lanka hingga membayar kewajiban utang publik eksternal menjadi tidak mungkin. Pemerintah mengambil tindakan darurat mencegah memburuknya posisi keuangan " tambah Kementerian Keuangan Sri Lanka.
Baca juga: Antisipasi Memburuknya Inflasi dan Krisis Ekonomi, Sri Lanka Gandakan Suku Bunga
Kesulitan Sri Lanka dalam membayar utang negara telah mendorong pemerintah pusat untuk mengeluarlkan kebijakan baru dimana nantinya kreditur bebas untuk memanfaatkan pembayaran bunga apa pun yang harus dibayar atau mereka juga bisa memilih pengembalian dalam mata uang rupee Sri Lanka.
Tak hanya itu bahkan demi menghemat pengeluaran negara serta cadangan mata uang asingnya, pemerintah Sri Lanka kini tengah memberlakukan larangan impor yang luas.
Akibat krisis yang berkepanjangan ini, peringkat Sri Lanka dipasar global pun juga ikut menurun jika dibanding dengan tahun lalu. Bahkan inflasi ini telah membuat cadangan devisa Sri Lanka melemah, terpantau sejak awal krisis hingga kini nilai devisa merosot 16,1 persen dari bulan sebelumnya, hingga membuat nilainya ikut turun menjadi 1,93 miliar.
Hal ini membuat pemerintah harus melakukan pengetatan pada warga negaranya dengan membatasi penggunaan listrik serta pembatasan bantun sembako hingga bahan bakar minyak. Langkah ini sengaja di lakukan agar negara dapat lebih mengehat pengeluaran pada barang pokok tersebut.
Lebih lanjut saat ini menteri keuangan Sri Lanka menyebut jika negaranya tengah membutuhkan 7 miliar dolar AS untuk membayar beban utangnya yang jatuh tempo tahun ini, sementara itu cadangan dana negara yang tersisa tinggalah 1,9 miliar dolar AS pada akhir Maret 2022.