Laporan Wartawan Tribunnews.com, Malvyandie
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana Pemerintah yang akan kembali melakukan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar mendapat sorotan dari kalangan masyarakat.
Pengamat BUMN Herry Gunawan menilai, saat ini bukan momen yang tepat di tengah melonjaknya harga kebutuhan pokok menjelang Idulfitri.
“Momennya tidak tepat. Beban masyarakat sedang tinggi-tingginya. Pendapatan masyarakat juga tidak mengalami kenaikan. Apalagi ini masyarakat baru selesai melewati masa Covid-19,” kata pria yang akrab disapa Herry Gun dalam keterangannya, hari ini (15/4/2022).
Baca juga: Harga Pertalite Dinilai Tak Perlu Naik, Pengamat Minta Pemerintah Lakukan Ini
Di sisi lain, Herry bisa memahami bahwa beban yang harus ditanggung Pemerintah untuk subsidi BBM cukup besar.
Terlebih di tengah kenaikan harga minyak dunia akibat konflik Rusia-Ukrania.
Apalagi terjadi disparitas antara harga jual dengan harga keekonomian.
Baca juga: Pemerintah Diminta Tunda Proyek Ibu Kota Negara Demi Jaga Harga Pertalite dan LPG 3 Kg Tidak Naik
“Memang harga jual Pertalite saat ini masih terlalu jauh dibandingkan harga keekonomian. Tapi ini persoalan momentum,” ujarnya.
Seperti diketahui, Pertalite dan Biosolar merupakan produk subsidi. Jadi kewenangan penentuan harga adalah pada Pemerintah, bukan Pertamina.
Dan selama ini, lanjut Herry, subsidi Pemerintah ke Pertalite dan Solar cukup besar.
Begitupun, lanjut Herry, harus juga dipikirkan kondisi psikologis masyarakat. Jadi, bukan hanya persoalan rasionalitas.
Oleh karena jika berpikir persoalan rasionalitas tentang kenaikan harga, makanya bisa dilakukan melalui Pertamax non subsidi. Dan kenaikan tersebut sudah dilakukan.
Belum lagi, lanjut Herry, bahwa kondisi saat ini masih ditambah dengan kenaikan harga komoditas sandang dan pangan menjelang lebaran.
Akibatnya, masyarakat memang harus merogoh koceknya lebih dalam.
“Dengan demikian, Pemerintah memang seharusnya meredam rencana kenaikan Pertalite dan Solar dulu. Jika nanti habis Lebaran kondisinya sudah membaik dan lebih stabil, di situlah momentumnya,” sambung dia.
“Konstribusi pengeluaran dari konsumsi rumah tangga sekitar 58%. Kalau konsumsi rumah tangganya ditekan dengan berbagai kenaikan ini bisa berdampak terhadap daya beli masyarakat,” tutup Herry.