TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Industri hulu dan hilir Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) saat ini sedang lesu.
Hal ini akibat terimbas oleh harga minyak global yang masih tinggi dan masih di atas 200 dolar AS per Barel.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengungkapkan, kenaikan harga minyak mentah menyebabkan kenaikan harga bahan baku utama Polyester dan Acetic Acid sebagai bahan penolong utama Rayon.
“Ini menjadi tantangan tersendiri bagi kami, karena untuk menjaga output produksi, kita perlu tambahan modal kerja,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Selasa (19/4/2022).
Kendati begitu, hingga saat ini industri hulu tekstil tidak mengurangi volume produksi.
Asal tahu saja, rata-rata utilisasi polyester di level 85% dan rayon di 90%, masih stabil.
Adapun kenaikan harga bahan baku diakui Redma diteruskan ke harga jual produk.
Selain tertekan oleh kenaikan harga minyak mentah dunia, Redma mengatakan, industri hulu tekstil juga harus menghadapi tantangan lainnya, seperti rencana kenaikan tarif listrik PLN sebagai imbas kenaikan harga batubara.
Menurutnya tidak adil jika industri dalam negeri dibebankan harga internasional untuk barang tambang yang berasal dari bumi Indonesia, terlebih menurutnya kebijakan ini hanya menguntungkan segelintir kelompok saja
Selanjutnya, tantangan lain yang dihadapi oleh industri hulu tekstil ialah kenaikan ongkos logistik yang menambah deretan hal yang akan mendorong inflasi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Rizal Tanzil Rakhman mengatakan, beberapa bahan baku hilir tekstil merupakan turunan dari minyak bumi, seperti polyester.
Menurut pantauan Rizal terakhir di lapangan, saat ini harga polyester sudah naik 20%-30% dari harga normal.
Tentu jika biaya polyester naik, harga benang juga akan naik, otomatis harga kain dan pakaian ikut terkerek.
Sejatinya kenaikan harga minyak mentah ini berdampak besar pada industri garmen lokal.
Sedangan untuk garmen yang berorientasi ekspor sudah punya kontrak atau order dari jauh-jauh hari.
“Kalau harga bahan baku dalam hal ini polyester naik, tentu saja akan memengaruhi harga jual produk hilir tekstil sehingga harus ada penyesuaian harga,” jelasnya saat dihubungi terpisah.
Kenaikan harga pakaian ini bersamaan dengan momentum Ramadhan dan Idul Fitri di mana permintaan seharusnya lebih tinggi dibandingkan hari normal.
Namun, penyesuaian harga ini dikhawatirkan Rizal menghambat penjualan lantaran pasar tidak bisa menyerap produk tersebut.
Maka itu, pelaku usaha masih wait and see untuk memasok pakaian dalam jumlah yang besar. Produsen harus menghitung dengan cermat volume produksinya untuk mengurangi dead stock di lapangan.
“Kalau sekarang, rata-rata utilisasi pabrik garmen di level 70%-80% sedangkan biasanya pada momentum lebaran (sebelum pandemi) utilisasinya full 100%,” ungkapnya. (Arfyana Citra Rahayu/Noverius Laoli)
Sumber: Kontan