Terlebih, tambah Budisatrio, BPOM juga telah memperhitungkan segala kemungkinan yang bisa terjadi atas pelabelan ini dan para pengusaha pun tidak akan mengalami kerugian fantastis tersebut.
Pasalnya, dalam aturan BPOM sendiri galon AMDK hanya akan diberi label tanpa dihancurkan.
"Hanya dilabeli. Kalau dibilang rugi Rp 6 triliun sampai Rp 11 triliun, saya rasa tidak, karena galonnya tidak dihancurkan. Cukup dilabeli, boleh saja dijual, persis rokok. Boleh dijual tapi ada labelnya," jelasnya.
Budisatrio juga menambahkan, pelabelan risiko BPA pada galon juga akan menciptakan iklim pasar yang lebih kompetitif. Ia juga menanggapi tentang isu praktik persaingan tidak sehat yang dapat terjadi di antara pelaku industri AMDK.
Menurutnya, persaingan sehat adalah kondisi pasar yang tidak ada rintangan ataupun halangan, untuk masuk dan keluar dalam suatu industri atau pasar. Sebelum ada rencana pelabelan BPA, ia sudah melihat adanya persaingan pada pasar AMDK.
“Sadar tidak sadar, saat membeli galon kita membawa galon si A, kita mau beli, ternyata sedang tidak ada di toko, kita tidak bisa menukar dengan galon si B. Otomatis ada sebuah kontrak jangka panjang yang sadar tidak sadar, tercipta dari sistem yang ada saat ini,” ujar Budisatrio.
Ia juga mengungkapkan, label BPA justru bisa mengarah ke pasar yang lebih kompetitif.
“Saat masyarakat yang memilih tidak menggunakan BPA, otomatis produk yang masih mengandung BPA akan memperbaiki produknya, sehingga ada persaingan saling menunjukan seberapa sehat dan seberapa bersih produk mereka. Inilah yang disebut pemain akan berkontes di pasar,” pungkas Budisatrio.
Menurut data yang diterima Tribunnews, dalam penyusunan dan pembahasan rancangan peraturan ini BPOM telah melakukan kajian scientific based/policy brief, yaitu meliputi kajian keamanan BPA, kajian dampak ekonomi kesehatan, kajian dampak lingkungan hidup, dan kajian dampak sosial.
Selain itu, pelabelan BPA-free ini semata untuk mewadahi concern BPOM terkait kemungkinan munculnya masalah-masalah kesehatan publik di masa depan, sekaligus memenuhi hak konsumen untuk mengetahui kualitas pangan yang mereka konsumsi.