Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Larangan ekspor minyak kelapa sawit oleh Indonesia menambah beban pasar minyak nabati, yang telah mencapai rekor harga tertinggi tahun ini, dan memicu kekhawatiran importir utama minyak kelapa sawit.
Minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati yang paling banyak digunakan di dunia, termasuk untuk pembuatan produk makanan seperti biskuit, cokelat, pembuatan margarin, hingga deterjen.
Minyak kelapa sawit juga dikenal sebagai minyak nabati yang paling banyak diproduksi, dikonsumsi dan diperdagangkan di pasar global.
Baca juga: Jurus Baru Pemerintah Stabilkan Harga Minyak Goreng, Jokowi Larang Ekspor Sawit Mulai 28 April 2022
Minyak kelapa sawit telah menyumbang sekitar 40 persen, dari pasokan empat minyak nabati paling populer, yaitu minyak kelapa sawit, minyak kedelai, minyak canola dan minyak biji bunga matahari.
Dilansir dari situs Reuters.com, berikut ini rincian mengenai pasar minyak nabati dunia :
Minyak Kelapa Sawit
Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mengungkapkan sekitar 77 juta ton minyak sawit diharapkan akan diproduksi tahun ini.
Indonesia merupakan produsen, eksportir dan konsumen utama minyak kelapa sawit, yang telah menyumbang sekitar 60 persen dari total pasokan.
Pemasok kedua minyak kelapa sawit terbesar yaitu Malaysia, telah menyumbang sekitar 25 persen dari pangsa pasar global.
Sementara itu, India adalah importir utama minyak kelapa sawit. Importir utama lainnya yaitu China, Pakistan, Bangladesh, Mesir dan Kenya.
Menurut data USDA, minyak sawit menyumbang sekitar 40 persen dari konsumsi minyak nabati di India.
Impor minyak sawit di India diperkirakan akan turun tahun ini, menyusul kebijakan perdagangan Indonesia yang akan membatasi ekspor minyak kelapa sawit, yang disebabkan karena harga minyak nabati yang tinggi dan faktor lainnya.
Produk minyak sawit global pada tahun 2020 dan 2021 merosot, akibat menurunnya jumlah tenaga kerja migran di perkebunan di seluruh Asia Tenggara.
Baca juga: Larangan Ekspor CPO dan Minyak Goreng Dianggap Sesuai dengan Rekomendasi Komisi VI DPR RI
Sebelumnya, Indonesia telah membatasi ekspor minyak nabati, sejak akhir Januari hingga pertengahan Maret untuk mencoba mengendalikan harga minyak goreng domestik.
Minyak Nabati Lainnya
Sementara itu, minyak kedelai adalah minyak nabati kedua yang paling banyak diproduksi. Sekitar 59 juta ton minyak kedelai diharapkan dapat diproduksi tahun ini.
China merupakan produsen terbesar minyak kedelai, dengan memproduksi sekitar 15,95 juta ton minyak kedelai.
Kemudian disusul Amerika dengan 11,9 juta ton minyak kedelai, Brasil 9 juta ton minyak kedelai, dan Argentina sebanyak 7,9 juta ton.
Harga minyak kedelai global juga dilaporkan telah melambung ke rekor tertinggi, di tengah kekhawatiran atas keputusan Indonesia untuk melarang ekspor minyak kelapa sawit.
Argentina sebagai pengekspor kedelai utama, diprediksi tahun ini akan mengalami penurunan ekspor minyak kedelai, menyusul akhir musim tanam kedelai yang buruk.
Negara ini sempat menghentikan penjualan minyak kedelai ke luar negeri pada pertengahan Maret lalu, sebelum akhirnya menaikan tarif pajak ekspor minyak kedelai menjadi 33 persen. Upaya ini diyakini dapat menekan inflasi domestik.
Baca juga: Menindaklanjuti Keputusan Presiden, TNI AL Awasi Ketat Perairan dari Ekspor CPO
Menurut USDA, Brasil dan Amerika Serikat adalah eksportir terbesar berikutnya. Diperkirakan lebih banyak pabrik penghancur kedelai akan dibuka di tahun-tahun mendatang di AS, akibat meningkatnya permintaan untuk menggunakan minyak kedelai untuk bahan bakar hayati (biofuel), namun kemungkinan AS tidak dapat meningkatkan kapasitas dan memenuhi permintaan minyak kedelai untuk waktu dekat.
Untuk minyak nabati lainnya, yaitu minyak canola, USDA memperkirakan tahun ini akan diproduksi sebanyak 29 juta ton, terutama di wilayah Eropa, Kanada dan China.
Tahun lalu, kekeringan telah memangkas panen canola di Kanada, sedangkan Eropa juga dihadapkan pada masalah kerusakan tanaman, yang membuat pasokan minyak canola untuk tahun ini berkurang.
Asosiasi Pengolah Biji Minyak Kanada mengatakan pada tahun lalu, Kanada mengekspor sekitar 75 persen dari minyak canola yang digunakan dalam makanan dan bahan bakar, kemudian diikuti Amerika Serikat sebesar 62 persen, dan 25 persen diisi oleh minyak canola dari China.
Sementara itu, dua negara yang saat ini sedang terlibat konflik yaitu Rusia dan Ukraina, telah menyumbang sekitar 55 persen dari produksi minyak biji matahari global dan memenuhi sekitar 76 persen dari ekspor dunia.
Sayangnya sejak invasi Rusia ke Ukraina terjadi, pengiriman minyak biji matahari dari wilayah tersebut telah merosot dan produksi minyak biji matahari di Ukraina tahun ini diprediksi akan terganggu.
Importir utama minyak biji matahari, yaitu China, India dan Eropa, dikabarkan mulai berebut untuk menemukan minyak alternatif, yang dapat menggantikan pasokan yang hilang dari dua negara tersebut. Lebih dari 90 persen minyak biji bunga matahari impor India, berasal dari Ukraina dan Rusia.
Jokowi Larang Ekspor CPO
Harga minyak goreng yang belum stabil hingga saat ini menjadi perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Jokowi pun membuat kebijakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng alias sawit dan minyak goreng.
Kebijakan tersebut mulai diberlakukan pada 28 April 2022.
"Hari ini saya telah memimpin rapat tentang pemenuhan kebutuhan pokok rakyat utamanya yang berkaitan dengan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri. Dalam rapat tersebut telah saya putuskan pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai kamis 28 April 2022 sampai batas waktu yang akan ditentukan," kata Jokowi.
Presiden mengingatkan akan terus memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan tersebut. Tujuannya agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri terjaga.
"Saya akan terus memantau dan mengevaluasi kebijakan ini agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah dengan harga terjangkau," pungkasnya.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan masalah minyak goreng masih terjadi sekarang ini. Meskipun masyarakat sudah mendapatkan BLT minyak goreng, namun harga minyak goreng belum sesuai dengan yang diharapkan.
Baca juga: Dukung Larangan Ekspor CPO, Anggota DPR Ungkap Unsur Politik di Baliknya
"Ya masalah minyak goreng kan masih menjadi masalah kita sampai sekarang meskipun masyarakat kita diberi subsidi BLT minyak goreng tetapi kan kita ingin harganya yang lebih mendekati normal," kata Jokowi di Pasar Bangkal Baru, Sumenep, Jawa Timur, Rabu, (20/4/2022).
Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng di pasaran masih tinggi, karena harga internasional Crued Palm Oil (CPO) atau sawit sangat tinggi. Produsen minyak goreng kata Presiden cenderung ingin ekspor ke luar negeri ketimbang memasarkan di dalam negeri.
Langkah pemerintah menerapkan HET minyak goreng dan pemberian BLT untuk menghadapi permasalahan tersebut hingga kini belum efektif.
"Kebijakan-kebijakan kita misalnya penetapan HET untuk minyak curah kemudian subsidi ke produsen ini kita lihat sudah berjalan beberapa minggu ini belum efektif," katanya.
Presiden mengatakan meskipun HET minyak goreng telah ditetapkan namun harga dipasaran masih tinggi. Oleh karenanya ia menduga ada permainan dibalik sengkarut minyak goreng tersebut.
"Di pasar saya lihat minyak curah banyak yang belum sesuai dengan HET yang kita tetapkan, artinya memang ada permainan," pungkasnya.