TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Mulai 28 April 2022 kemarin Pemerintah telah menetapkan larangan sementara ekspor terhadap Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya.
Aturan larangan ekspor tersebut bertujuan untuk mengendalikan harga dan menjamin ketersediaan minyak goreng di pasar dalam negeri.
Larangan sementara ekspor tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 22/2022 tentang Larangan Sementara Ekspor CPO (Crude palm Oil), RBD (Refined, Bleached, & Deoderized) Palm Oil, RBD (Refined, Bleached, & Deoderized) Palm Olein, dan UCO (Used Cooking Oil).
Baca juga: Harga Minyak Goreng Terbaru Hari Ini, Jumat 29 April 2022 di Alfamart dan Indomaret
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto melaporkan, penerimaan bea keluar produk sawit sampai bulan Maret 2022 sebesar Rp 8,62 triliun atau tumbuh 148% yoy.
Sehingga 80,56% penerimaan bea keluar disumbang oleh CPO pada perode Kuartal I-2022.
“Penerimaan bea keluar ini didominasi RBD Palm Olein, RBD palm oil dan kernel sawit,” ujar Nirwala kepada Kontan.co.id, Jumat (29/4/2022).
Baca juga: Erick Thohir Terus Dorong BUMN Stabilisasi Harga Minyak Goreng
Nirwala mengatakan, dengan adanya pelarangan sementara ekspor CPO maka berdampak kepada menurunnya penerimaan bea keluar.
Secara hitungan, pemerintah bisa kehilangan potensi penerimaan bea keluar sebesar Rp 2,87 triliun per bulan dengan adanya kebijakan pelarangan ini.
“Seberapa besar dampaknya tergantung dari berapa lama pelarangan ekspor diberlakukan. Negara memang membutuhkan penerimaan negara dan devisa, tetapi kepentingan rakyat di atas segalanya sesuai perintah presiden,” jelasnya.
Baca juga: Pakar Dorong Presiden Bentuk Badan Sawit Indonesia Atasi Persoalan Minyak Goreng
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, bahwa penerimaan bea keluar konstribusinya lebih besar disumbang oleh CPO dan produk turunannya yang bisa mencapai 80%.
“Artinya jika Rp 8,62 triliun secara akumulatif maka per bulannya sumbangannya bisa berada di kisaran Rp 2,3 triliun.
Inilah gambaran sederhana, penerimaan negara yang bisa hilang dari kebijakan larangan ekspor,” kata Yusuf.
Yusuf memperkirakan, jika belajar dari pengalaman kebijakan penanganan ata niaga minyak goreng di bulan Januari sampai dengan Maret, menurutnya minimal waktu yang dibutuhkan untuk kebijakan larangan sementara ekspor CPO ini adalah 2 bulan.
“Menurut saya minimal waktu yang dibutuhkan untuk kebijakan ini mencapai dua bulan,” tandasnya. (Vendy Yhulia Susanto/Handoyo)