TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan, rencana pembatasan subsidi sebaiknya tidak dulu dilakukan oleh pemerintah.
Seperti diketahui, pemerintah berencana menerapkan pembatasan pembelian BBM Pertalite melalui penerbitan petunjuk teknis yang kini tengah disusun.
Menurutnya, saat ini masyarakat masih dalam tahapan pemulihan ekonomi pasca pelonggaran ketat akibat Pandemi Covid-19.
"Butuh waktu masyarakat untuk mempersiapkan diri, sekarang bukan momentum tepat untuk pembatasan subsidi Pertalite," ujar Bhima kepada Kontan, Jumat (3/6).
Baca juga: Soal Mobil Mewah Akan Dilarang Pakai Pertalite, Gaikindo: Kemungkinan Mobil Kapasitas 3.000-4.000 cc
Bhima melanjutkan, saat ini jika merujuk pada harga jual eceran badan usaha lain, maka harga BBM Ron 90 setara Pertalite ada di level Rp 14.300 per liter. Jika pemerintah menyesuaikan harga jual Pertalite maka dampak inflasi akan sangat memukul daya beli masyarakat kelas menengah. Ini juga berpotensi memberi dampak pada kenaikan harga pangan.
Menurut Bhima, penyesuaian harga Pertamax yang sebelumnya dilakukan Pertamina memang berimbas pada migrasi konsumen ke produk Pertalite. Selisih harga jual antara Pertamax dan Pertalite yang cukup tinggi diakui memang membuat migrasi yang cukup ekstrim terjadi.
Bhima menjelaskan, pemerintah dapat mengambil langkah lain untuk saat ini. Tercatat, pemerintah memperoleh keuntungan dari windfall penerimaan komoditas lain mencapai Rp 103 triliun. Dana tersebut dapat dialokasikan untuk subsidi energi demi menjaga daya beli masyarakat.
"Itu salah satu cara agar daya beli masyarakat lebih kuat dulu sebelum lakukan penyesuaian-penyesuaian ke depannya," kata Bhima.
Baca juga: Mobil Mewah Dilarang Pakai Pertalite, Gaikindo: Kemungkinan Mobil Kapasitas 3.000-4.000 cc
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov menilai kebijakan pembatasan subsidi merupakan langkah yang setengah-setengah. Menurutnya, saat ini adalah momentum untuk impementasi subsidi tertutup demi memastikan penyaluran BBM subsidi lebih tepat sasaran.
Meskipun pemerintah telah menetapkan Pertalite sebagai Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP), skema pembayaran kompensasi dinilai masih menyisakan masalah khususnya untuk Pertamina.
"Kalau kita bicara tantangan kompensasi ini baru akan bisa diterima oleh Pertamina kan di tahun-tahun berikutnya karena dia mekanisme bukan subsidi," kata Abra kepada Kontan, Jumat (3/6).
Abra melanjutkan, pemerintah dapat mengambil opsi lain dengan mengubah skema pembayaran kompensasi. Salah satu caranya yakni dengan menetapkan Pertalite menjadi Jenis BBM Tertentu (JBT) seperti Solar.
Dengan demikian, pembayaran kompensasi dapat diberlakukan seperti subsidi yang dapat dihitung setiap bulannya.
Baca juga: UPDATE Harga Pertamax dan Pertalite Hari Ini, 2 Juni 2022 di SPBU Seluruh Indonesia
"Artinya dia sama halnya seperti solar dan subsidi, dia mendapatkan penggantian selisih (jual) dengan skema subsidi," terang Abra.
Dengan demikian, upaya untuk menjaga kuota Pertalite tidak jebol dapat dilakukan lebih optimal.Selain menjaga APBN, langkah ini juga dapat menjaga arus kas Pertamina. Abra menjelaskan, disparitas harga yang terjadi memang berpotensi membuat penjualan Pertalite melebihi kuota yang ditetapkan untuk tahun ini.
Abra mengungkapkan, saat ini disparitas harga antara HJE Pertalite dengan harga keekonomian mencapai hampir Rp 5.000 per liter. Harga jual Pertalite saat ini ditetapkan sebesar Rp 7.650 per liter. Sementara harga keekonomian saat ini ada di level Rp 12.579 per liter.
Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul "Ini Catatan Pengamat Soal Pembatasan Pembelian Pertalite"