Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Bank Dunia menyebut resesi ekonomi global sudah di depan mata. Pakar mengingatkan agar Bank Indonesia bisa tetap menjaga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Pengamat Ekonomi Rahma Gafmi mengatakan, Indonesia berada di jalur yang baik selama Non Performing Loan (NPL) tetap berada di sekitar ambang batas psikologis yaitu tidak lebih dari 3 persen. Suku bunga AS yang lebih tinggi akan seiring dengan tekanan pada mata uang lokal terhadap greenback.
"Yang harus dilakukan pemangku kebijakan terutama Bank Indonesia adalah menjaga rupiah di bawah Rp 15.000 per dolar AS baik melalui operasi pasar terbuka ataupun dengan menaikkan suku bunga acuan," ujar Rahma saat dihubungi Tribunnews, Jumat (10/6/2022).
Baca juga: Ekonom Indef: Pertanian Tumbuh 1,84 Persen, Jadi Bantalan Resesi Selama Pandemi
Namun, ucap Rahma, perekonomian Indonesia sebenarnya sedang menunggu bom waktu dengan Loan at Risk di atas 20 persen dari total outstanding utang di sektor perbankan. Meskipun masih belum ada tanda-tanda adanya bencana yang menjulang tinggi, itu harus mewaspadai dan mengantisipasi sebagai bom waktu.
"Dengan demikian, neraca sektor perbankan kitalah yang mungkin menjadi akar dari segala permasalahan. Bukan suku bunga AS," kata Rahma.
Rahma berpandangan, perekonomian dibeberapa negara bagaimanapun perlakuannya dalam membuat kebijakan, pasti akan mengalami kontraksi. PDB Rusia pasti akan menyusut, bahkan dengan harga minyak dan gas yang lebih tinggi, sebagai akibat dari sanksi yang berat dari Barat dan kemungkinan besar berkepanjangan.
"Eropa juga kemungkinan akan mengalami resesi, karena harga energi yang tinggi, ketergantungan yang sangat besar pada impor bahan bakar fosil, dan keharusan (sangat high cost) untuk segera menghentikan untuk menerima supply dari Rusia," tutur Rahma.
Banyak negara-negara yang berpenghasilan rendah di mana melonjaknya harga pangan dan energi dapat memperparah menambah dampak pandemi, menghadapi masa-masa yang lebih sulit. Sementara AS tampaknya semakin mungkin menghadapi perlambatan ekonomi yang luar biasa, resesi adalah skenario yang paling mungkin.
Baca juga: Situasi Terkini Ekonomi AS Menuju Resesi, Biden Bisa Kehilangan Dukungan
"Demikian pula, China, yang biasanya merupakan mesin pertumbuhan global yang kuat, akan mengalami pertumbuhan satu digit lebih rendah setidaknya selama satu tahun," imbuh Rahma.
Hal tersebut, kata Rahma, dikarenakan efek gabungan dari pengetatan mobilitas, penyerapan vaksinasi yang rendah di kalangan orang tua, beberapa hilangnya kepercayaan investor terhadap negara-negara maju.
Kemudian, disebabkan pertumbuhan sektor teknologi, dan sektor real estat dilanda utang yang sangat tinggi dan adanya penurunan tingkat harga.