Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri menilai struktur cukai di Indonesia yang terdiri dari 8 golongan saat ini masih terlalu banyak dan tidak efektif.
Karena itu, dia mengungkapkan, dampak sistem yang tidak efektif tersebut adalah perusahaan rokok bisa menyiasati kenaikan cukai.
“Struktur 8 layer itu masih memberikan kemampuan manuver kepada perusahaan untuk menyiasati kenaikan cukai,” ujarnya dalam webinar "Indonesia Lebih Sehat melalui Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Hasil Tembakau", ditulis Senin (13/6/2022).
Baca juga: Serentak! Bea Cukai Gelar Operasi Gempur Rokok Ilegal di Wilayah Ini
Selain itu, dia menjelaskan, sistem penggolongan tarif cukai hasil tembakau berdasarkan jumlah produksi jadi peluang bagi perusahaan rokok untuk bermanuver melakukan penghindaran pajak.
Menurutnya besaran tarif cukai yang ditentukan lewat ambang batas produksi menyebabkan adanya selisih tarif yang lebar antargolongan, sehingga harga rokok di pasaran menjadi bervariasi.
"Hal ini mengakibatkan harga rokok masih terjangkau, kendati pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau setiap tahun," kata Faisal.
Karena itu, dirinya berharap pemerintah dapat merevisi ketentuan terkait pengaturan penggolongan pabrikan rokok yang dinilai tidak relevan lagi, terutama terkait besaran batasan golongan 2.
Baca juga: Konsumen Rokok di RI Naik, YLKI: Pemerintah Tumbalkan Kesehatan Masyarakat dengan Dalih Investasi
“Adanya penggolongan ini kan fokusnya untuk UKM, pengertian UKM itu apa? Rasanya pabrikan rokok mesin itu bukan UKM lagi. Oleh karena itu, sigaret kretek mesin tidak perlu ada penggolongan karena perusahaan rokok besar semua,” pungkasnya.