TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aturan mengenai besaran iuran BPJS Kesehatan diubah. Nantinya iuran akan disesuaikan dengan besaran gaji, bukan lagi per kelas mulai bulan Juli 2022.
BPJS Kesehatan juga akan menghapus kelas 1, 2, 3 dan berganti ke kelas standar, dimana peserta akan membayar sesuai dengan besaran gaji sesuai dengan prinsip gotong royong. Menanggapi rencana tersebut, Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan buruh akan melakukan perlawanan lewat aksi.
Menurutnya rencana BPJS Kesehatan yang akan menaikkan iuran itu adalah melanggar UU tentang BPJS. "Kenaikan iuran harus mendapatkan kesepahaman kesepakatan dari stakeholder," kata Said Iqbal saat ditemui di Kantor Bawaslu RI, Senin (13/6).
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) itu mengatakan, BPJS Kesehatan adalah badan hukum publik atau dulu dikenal dengan badan wali amanah. Menurutnya, semua pembayar iuran harus diajak bicara.
"Semua pembayar iuran harus diajak bicara. Satu, buruh. Dua, pengusaha. Tiga, pemerintah. Oleh karena itu rencana itu akan melanggar undang-undang," katanya.
Baca juga: Wacana Iuran BPJS Kesehatan Naik, Buruh Ancam Lakukan Perlawanan
Said Iqbal mengatakan, KSPI bersama partai buruh akan melakukan perlawanan secara hukum dan secara aksi terkait naiknya iuran BPJS Kesehatan.
"Dengan kata lain, jangan naikkan iuran apalagi mau dinaikkan sesuai besarnya gaji. Itu Dirut BPJS Kesehatan lagi tidur ngelindur, mimpi, itu nggak boleh seperti itu. Tapi ada aturan-aturan yang melalui peraturan-peraturan pemerintah bukan dirut BPJS," ujarnya.
DPR RI melalui Komisi IX juga mengaku belum diajak bicara soal rencana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang akan melebur layanan kelas 1, 2, dan 3 menjadi kelas rawat inap standar (KRIS) pada Juli 2022.
Baca juga: Rencana Tarif BPJS Kesehatan Sesuai Gaji Mulai Juli 2022, Layanan Kelas 1 2 3 Dilebur Jadi KRIS
"Hal itu belum dibahas artinya parlemen belum diajak berdiskusi," kata Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo, saat dihubungi Tribun.
Legislator Fraksi PDI Perjuangan itu menerangkan, memang sesuai amanah Undang-Undang, ke depan itu hanya ada satu kelas atau kelas standar. Namun, persoalan iuran diakuinya belum ada pembahasan dengan pihak BPJS Kesehatan maupun Kementerian Kesehatan.
Baca juga: Cara Cairkan Saldo JHT BPJS Ketenagakerjaan via lapakasik.bpjsketenagakerjaan.go.id
"Kami masih menunggu undangan untuk membahas khusus soal iuran ini karena memang iuran ini menjadi sangat sensitif bagi masyarakat, khususnya yang membayar mandiri kepesertaannya," ujarnya.
Lebih lanjut, menurut Rahmad persoalan iuran ini adalah sensitif bagi masyarakat. Oleh karena itu, butuh asas kehati-hatian dan keadilan serta mematangkan rencana peleburan layanan kelas 1, 2, dan 3 menjadi kelas standar.
Diungkapkannya juga, Komisi IX DPR RI akan menindaklanjuti rencana itu dengan menggelar diskusi dengan stakehokder terkait.
"Mudah-mudahan dalam diskusi nanti ke depan, dalam FGD dengan pemerintah, Komisi IX dengan DJSN, Kemenkes dan para ahli, saya kira itu akan mencari jalan titik temu, jalan terbaik, solusi dan ada jalan yang bisa diterima oleh masyarakat," ujarnya.
Baca juga: Kemenkes: Biaya Perawatan Pasien Dugaan Hepatitis Akut Ditanggung BPJS Kesehatan
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri mengatakan nantinya besaran iuran akan disesuaikan dengan besaran gaji peserta. "Iuran sedang dihitung dengan memperhatikan keadilan dan prinsip asuransi sosial. Salah satu prinsipnya adalah sesuai dengan besar penghasilan," kata Asih.
Pejabat Pengganti Sementara (Pps) Kepala Hubungan Masyarakat (Humas) BPJS Kesehatan Arif Budiman mengatakan, mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan, besaran iuran ditentukan berdasarkan jenis kepesertaan setiap peserta dalam program JKN.
"Bagi masyarakat miskin dan tidak mampu yang terdaftar sebagai peserta PBI, iurannya sebesar Rp 42.000 dibayarkan oleh Pemerintah Pusat dengan kontribusi Pemerintah Daerah sesuai kekuatan fiskal tiap daerah," ujar Arif.
Sementara itu, bagi peserta pekerja penerima upah (PPU) atau pekerja formal, baik penyelenggara negara seperti ASN, TNI, Polri dan pekerja swasta, besaran iuran sebesar 5 persen dari upah, dengan rincian 4 persen dibayarkan oleh pemberi kerja dan 1 persen oleh pekerja. Ia menjelaskan, untuk perhitungan iuran ini berlaku pula batas bawah, yaitu upah minimum kabupaten atau kota dan batas atas sebesar Rp 12 juta.
"Jadi perhitungan iuran dari penghasilan seseorang hanya berlaku pada jenis kepesertaan PPU, pekerja formal yang mendapat upah secara rutin dari pemberi kerjanya," kata Arif.
Lalu bagaimana bagi mereka para peserta yang tidak memiliki penghasilan?
Arif menjelaskan bagi kelompok peserta sektor informal yang tidak memiliki penghasilan tetap, dikelompokkan sebagai peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP).
Terkait jenis kepesertaan ini, peserta dapat memilih besaran iuran sesuai yang dikehendaki. Kelas 1 sebesar Rp 150.000 per orang per bulan, kelas 2 sebesar Rp 100.000 per orang per bulan, dan kelas 3 sebesar Rp 35.000 per orang per bulan.
"Perlu diketahui juga bahwa khusus PBPU kelas 3 sebetulnya mendapat bantuan dari pemerintah sebesar Rp 7.000 per orang per bulan, sehingga sebetulnya totalnya Rp 42.000," ujar Arif.
Jadi, ia menambahkan, bagi seseorang yang belum memiliki penghasilan atau sudah tidak berpenghasilan, dapat memilih menjadi peserta PBPU dengan pilihan kelas 1, 2, atau 3.
"Atau jika masuk dalam kategori masyarakat miskin dan tidak mampu yang terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dapat masuk menjadi kelompok peserta PBI yang iurannya dibayar pemerintah," ujarnya.(Tribun Network/mam/ras/kps/wly)