Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rupiah kembali melemah 22 poin pada penutupan perdagangan Kamis (16/6/2022). Pengamat pasar uang sekaligus Direktur PT TRFX Garuda Berjangka, Ibrahim Assuabi mengaitkan hal tersebut dengan faktor eksternal.
Menurutnya, dolar menguat terhadap mata uang lainnya karena sikap investor mencerna kenaikan suku bunga 75 basis poin yang diumumkan oleh bank sentral Amerika Serikat.
“Hal tersebut bertujuan untuk menjinakkan inflasi setelah indeks harga konsumen naik 8,6 persen (year on year/yoy) di bulan Mei, terbesar sejak 1994,” ucap Ibrahim, Kamis (16/6/2022).
Baca juga: Kenaikan Suku Bunga The Fed Diprediksi Berdampak pada Hipotek Suku Bunga Tetap
Mengutip Ketua Fed Jerome Powell, Ibrahim kembali melanjutkan, bank sentral AS akan memberikan kenaikan besar lainnya pada Juli 2022. Tetapi kenaikan 75 basis poin pada hari ini adalah yang luar biasa besar.
Berdasarkan analisanya, lanjut Ibrahim, mata uang Garuda bakal mengalami fluktuatif. Bahkan pada hari ini Rupiah diprediksi cenderung melemah.
“Untuk perdagangan hari ini, mata uang rupiah kemungkinan dibuka berfluktuatif. Namun nantinya diprediksi akan ditutup melemah di rentang Rp14.750 - Rp14.810,” pungkas Ibrahim.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan, pemerintah harus bisa mengantisipasi langkah The Fed.
Baca juga: The Fed Kerek Suku Bunga, BI Harus Gercep, Ini Dampak Jika Tak Direspon Serius
Menurut Bhima, Bank Indonesia (BI) bisa saja menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin sampai 50 basis poin untuk merespon kenaikan suku bunga The Fed.
“Bank Indonesia terdesak, kemungkinan menaikkan suku bunga. Kenaikan suku bunga ini sekitar 25 sampai 50 basis poin sekali kenaikan. Atau 75 basis poin secara total di semester kedua 2022 ini untuk merespon dampak Fed rate naik,” ucap Bhima kepada Tribunnews, Kamis (22/6/2022).
Bhima kembali melanjutkan, yang menjadi acuan atau alasan yang mendorong BI menaikan suku bunga yakni untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Jika tidak dilakukan, hal ini berdampak kepada Rupiah yang kemudian akan terdepresi dan memiliki efek domino terhadap imported inflation.
Sebagai informasi, imported inflation adalah salah satu jenis inflasi yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar sehingga berdampak pada naiknya harga impor dari luar negeri. Akibatnya juga cukup serius dalam bidang ekonomi.
“Imported inflation ini tentu tidak diharapkan. Ketika harga energinya sedang tinggi, harga pangannya juga tinggi, kemudian didorong fluktuasi nilai tukar tentu banyak konsumen di Indonesia dan perusahaan di dalam negeri tidak siap,” papar Bhima.
Tak hanya sampai disitu, imbas langkah yang dilakukan The Fed dapat memicu stabilitas pasar keuangan khususnya surat utang.
Karena, kalau Indonesia tidak menyesuaikan suku bunganya, maka investor akan mengubah portofolionya, kemudian keluar dari Indonesia dan akan mencari instrumen lain yang imbal hasilnya jauh lebih tinggi.
dampak ke Asia
Para trader di Asia memberikan tanggapan setelah Federal Reserve AS mengumumkan kenaikan suku bunga terbesar sejak tahun 1994, sebagai langkah untuk mengendalikan inflasi yang melonjak.
Kekhawatiran semakin meningkat setelah adanya peringatan pertumbuhan ekonomi akan melambat dan jumlah pengangguran yang meningkat, sehingga berpengaruh terhadap penjualan aset berisiko.
Berikut ini lima tekanan utama yang harus diperhatikan di pasar Asia pada hari ini (16/6/2022) :
1. Nilai tukar Yen anjlok
Yen didorong ke level terendahnya dalam 24 tahun terhadap dolar AS, karena terjebak di antara keputusan The Fed untuk menaikkan suku bunga dan bank sentral Jepang yang cenderung longgar. Nilai Yen kembali menguat setelah The Fed mengadakan pertemuan karena imbal Treasury merosot, Namun keputusan Bank Sentral Jepang dapat menghasilkan volatilitas baru karena kebijakan moneter longgar Jepang yang semakin terisolasi.
2. Saham Teknologi Asia
Saham perusahaan teknologi Asia mengalami penurunan karena investor menilai kembali valuasi, dan keputusan The Fed untuk menaikkan suku bunga mendorong nilai saham perusahaan teknologi di Asia semakin berbahaya. Saham perusahaan raksasa teknologi asal China sangat sensitif terhadap sentimen risiko. Penguncian dan regulasi Covid-19 yang ketat di China menambah kekhawatiran investor terhadap pendapatan.
3. Obligasi Pemerintah Jepang (JPG)
Spekulan mendorong obligasi Jepang ke ambang penghentian perdagangan pada Rabu (16/6/2022), karena Bank Sentral Jepang berjuang untuk meyakinkan pasar dengan berjanji akan membatasi imbal hasil hingga 0,25 persen walaupun The Fed menaikkan suku bunga. Surat utang 10 tahun merosot paling tajam sejak 2013, dengan aksi jual bertahan bahkan setelah Bank Sentral Jepang meningkatkan program pembelian obligasi.
4. Aksi jual di negara berkembang
Pasar saham bisa menangkap momentum setelah dolar melemah semalam dan saham China melawan kekalahan baru-baru ini.
Taiwan, Korea Selatan, dan India yang padat teknologi dapat melihat beberapa investor kembali setelah dana asing terjual lebih dari US$ 70 miliar pada tahun ini, menurut data yang dikumpulkan oleh Bloomberg.
5. Surat utang Indonesia
Selain itu, investor juga akan melirik obligasi asal Indonesia yang termasuk paling berisiko di Asia dan yang paling sensitif terhadap pergolakan suku bunga AS.
Imbal hasil surat utang negara 5 tahun telah naik lebih dari 30 basis poin pada pekan ini seiring dengan persiapan untuk pukulan ganda dari kenaikan Fed dan kemungkinan Bank Indonesia yang mengikuti pada pekan depan.
Obligasi Indonesia termasuk yang berkinerja terburuk di Asia dengan penurunan agregat 2,1 persen sejauh bulan ini.
dampak ke Indonesia
Gubernur bank sentral Indonesia (Bank Indonesia) Perry Warjiyo menyebut kenaikan suku bunga The Fed adalah "risiko yang terus dimonitor dan antisipasi".
"Semoga tidak ada suatu surprises (kejutan) di global maupun domestik sehingga pemulihan ekonomi secara domestik terus berlanjut, stabilitas ekonomi dan keuangan terus terjaga, inflasi terus terjaga, nilai tukar [rupiah] terjaga," jelas Perry dalam seminar bertajuk Managing Inflation to Boost Economic Growth, Rabu (15/6/2022).
Perry memperkirakan suku bunga The Fed akan naik menjadi 2,75 persen tahun ini, dan meningkat kembali tahun depan menjadi 3,25 persen.
Implikasi dari kenaikan suku bunga The Fed, bank sentral negara-negara lain akan menempuh langkah serupa yang akan menandai perubahan besar dalam ekonomi global.
Bisnis dan rumah tangga yang telah menikmati bunga pinjaman yang rendah selama bertahun-tahun, akan terpukul oleh kebijakan ini.
"Sebagian besar bank sentral negara maju dan beberapa bank sentral negara berkembang memperketat kebijakan secara sinkron," kata Gregory Daco, kepala ekonom di perusahaan konsultan strategi EY-Parthenon.
Adapun, PBB dan World Bank memperirakan inflasi global yang terjadi saat ini akan menambah sekitar 75 juta - 95 juta penduduk miskin pada 2022, lebih buruk ketimbang perkiraan mereka sebelum pandemi.