Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan, ada beberapa hal perlu jadi perhatian dengan semakin agresifnya Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed dalam menaikkan suku bunga.
Pertama, adalah yield atau imbal hasil dari surat utang AS semakin meningkat, terutama untuk US Treasury dengan tenor 10 tahun.
"Sementara, kalau Bank Indonesia tidak menaikkan suku bunga, ini khawatirnya spread dari US Treasury dengan spread dari surat berharga negara (SBN) semakin tipis. Ini bisa membuat investor keluar atau melakukan penjualan di pasar surat utang," ujarnya melalui pesan suara kepada Tribunnews.com, ditulis Kamis (23/6/2022).
Baca juga: China Tak Naikkan Suku Bunga Ikuti The Fed, Mata Uang Yuan Bisa Melemah
Kemudian, hal tersebut juga dapat berakibat terhadap penjualan di pasar saham, sehingga masih berfluktuasi dalam beberapa pekan ke depan.
"Karena responnya tentu beda-beda, tapi yang jelas langkah Bank Indonesia mungkin untuk pre-emptive bisa mulai meningkatkan suku bunga," kata Bhima.
Baca juga: Kurs Rupiah Masih Melemah di Atas Rp 14.800, Tertekan Sentimen Kenaikan Suku Bunga The Fed
Menurut dia, kenaikan sebanyak 25 basis poin (bps) bisa sebagai langkah antisipatif, karena jika lambat bergerak, maka akan terjadi perubahan signifikan dari tekanan eksternal ini.
"Di sisi lain, kenaikan suku bunga The Fed mengimplikasikan bahwa memang inflasi menjadi satu ancaman serius, dan sifatnya persisten atau berkelanjutan. Berlangsung dalam waktu yang belum tahu kapan akan melandai," pungkasnya.