TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Memasuki pertengahan tahun ini, berbagai usaha rintisan atau startup mengumumkan kebijakan efisisensi yang berujung pada PHK massal.
Hal itu menandakan adanya langkah lebih rasional dari strategi mayoritas startup yang dikenal royal “bakar duit”.
Terkait kemelut bergugurnya usaha-usaha rintisan, Direktur Eksekutif Lippo Group John Riady mengungkapkan hal itu terjadi di tengah memburuknya kondisi perekonomian global.
“Kebutuhan modal yang besar dalam pengembangan usaha rintisan harus berhadapan dengan situasi inflasi yang cenderung tinggi, menyebabkan berbagai pihak menahan dana. Terlebih lagi, saat ini terjadi gesekan dari kebijakan The Fed yang menyedot arus kapital global,” ungkapnya.
Baca juga: Tekanan Inflasi Picu Gelombang PHK Massal Ratusan Karyawan Startup di Asia Tenggara
John yang juga praktisi modal ventura di bawah Lippo Group memiliki riwayat panjang dalam mengembangkan berbagai startup. Sejak 2015, melalui PT Venturra Capital, John Riady melakukan penetrasi ke dalam ekosistem ekonomi digital.
Berbagai usaha rintisan dibidani Venturra Capital, antara lain Ruang Guru, Ovo, Sociola, bahkan unicorn Grab. “Kini masih ada puluhan yang kami kembangkan,” jelas John.
Melihat gejala rontoknya berbagai usaha rintisan, John menilai disebabkan berbagai kesalahan persepsi. Paling mendasar, lanjutnya, adalah persepsi terkait prospek startup di tengah arus digitalisasi yang semakin meluas.
Persoalannya, pandemi yang telah memicu berbagai terobosan digital nyatanya tidak menolong momentum startup menjadi lebih besar. “Artinya apa? Di sini, yang akan bertahan tidak sekadar startup, melainkan startup yang siap dengan model bisnis dan prinsip untuk menghadirkan solusi berkesinambungan bagi persoalan masyarakat,” jelas John.
Baca juga: Startup Dailybox Group Terima Pendanaan Seri B Sebesar Rp 355 Miliar
Persepsi salah kaprah lainnya, katanya, adalah eforia digitalisasi yang tak beralasan. Eforia ini memicu tren serba digital lebih baik dibandingkan hal berbau konvensional.
Sebaliknya, jelas John, justru berbagai senjata digital tidak akan efektif bila tidak disokong dengan layanan fisik atau konvensional. Lihat saja di China, berbagai raksasa bisnis digital sebisa mungkin mengakuisisi berbagai perusahaan konvensional yang memiliki jaringan bisnis secara fisik.
“Ini merupakan strategi kolaborasi, istilahnya omnichannel. Dengan mengawinkan layanan digital dan keunggulan jaringan bisnis secara fisik, akan menopang penguatan kinerja. Apalagi di Indonesia yang sebagian besar aktivitas dan gaya hidup masyarakat masih belum bisa meninggalkan pola konvensional sepenuhnya,” tegas John.
Pada akhirnya, John mengungkapkan di tengah bergugurannya berbagai usaha rintisan, justru ini merupakan momentum seleksi alam bagi ekosistem digital. “Yang bertahan adalah yang mempunyai kinerja baik serta prospek yang mampu menjangkau kebutuhan pasar,” simpulnya.