Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lonjakan inflasi yang terjadi di negara-negara Asia belakangan ini memaksa para pemerintah berpikir keras untuk mengambil langkah-langkah strategis.
Pasalnya, lonjakan inflasi dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina, membawa efek domino pada rantai pasokan yang masih terganggu karena pandemi.
Hal ini juga membuat bank sentral bertindak agresif untuk mengetatkan kebijakan moneternya dan meningkatkan kekhawatiran perlambatan ekonomi global.
Baca juga: Pemerintah dan Bank Indonesia Perlu Perkuat Koordinasi Hadapi Ancaman Inflasi Global
Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
CEO Grant Thornton Indonesia Johanna Gani mengatakan, seperti negara-negara lainnya, banyak faktor mempengaruhi terjadinya inflasi di Indonesia, antara lain adanya pengaruh global yaitu situasi perang Rusia-Ukraina yang telah menyulut kenaikan harga komoditas.
"Meskipun demikian, inflasi di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia lainnya," ujar Johanna melalui keterangannya, Jumat (8/7/2022).
Sebelumnya, menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu, inflasi Indonesia pada Juni 2022 yang tercatat 4,35 persen masih tergolong moderat dibandingkan negara lain.
Meskipun inflasi pada bulan Juni 2022 ini merupakan yang tertinggi sejak Juni 2017, di mana pada waktu itu berada di level 4,37 persen.
“Inflasi tersebut juga telah menyebabkan kenaikan harga pangan dalam negeri seperti minyak goreng, cabai merah, cabai rawit, bawang merah, dan telur ayam. Hal ini tentunya akan mengganggu proses pemulihan ekonomi, terutama terhadap konsumsi rumah tangga.” kata Johanna.
Baca juga: The Fed Berencana Kerek Lagi Suku Bunga untuk Antisipasi Lonjakan Inflasi AS
Karena itu, pemerintah dan Bank Indonesia dinilainya perlu memperkuat koordinasi dan komunikasi, terutama terkait dengan rencana penyesuaian harga yang diatur pemerintah, sehingga dapat mengatur kebijakan moneter dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
"Pemerintah juga perlu melakukan stabilisasi harga pangan dengan memastikan pasokannya terutama harga minyak goreng, sehingga diharapkan tekanan inflasi tidak meningkat signifikan dan masih dapat terkendali," pungkasnya.
Sementara itu diberitakan sebelumnya, berbagai upaya telah dilakukan oleh negara-negara di Asia untuk menekan laju inflasi.
Pemerintah Korea Selatan telah menaikkan tarif 6 komoditas antara lain minyak bunga matahari, gandum, jagung, dan tanaman biji-bijian.
Baca juga: Seperti Thailand, Laju Inflasi Taiwan Juga Tembus Rekor Tertinggi di Bulan Juni
Selain itu, Bank Sentral Korea Selatan juga telah menaikkan suku bunga menjadi 1,75 persen di Mei untuk mengurangi inflasi dari level tertinggi dalam 13 tahun.
Di Jepang, inflasi melonjak 2,5 persen pada Mei, setelah menunjukkan kenaikan yang sama di bulan sebelumnya, dan lonjakan tersebut merupakan yang tertinggi dalam tujuh tahun.
Adapun di China, harga produsen naik 8,3 persen dari tahun lalu, meskipun turun 8,8 persen pada Februari, tapi masih di atas median 8,1 persen.
Untuk di Asia Tenggara, berdasarkan data Tradingeconomics, Myanmar merupakan negara dengan laju inflasi tertinggi di kawasan Asia Tenggara, dengan kenaikan sebesar 12,63 persen pada Desember 2021.
Negara ASEAN dengan inflasi tertinggi berikutnya adalah Laos, yakni 9,9 persen hingga April 2022, diikuti Thailand 7,1 persen pada Mei 2022, Kamboja 6,3 persen hingga Februari 2022, dan Filipina 5,4 persen pada Mei 2022.
Baca juga: Tekan Laju Inflasi, Sri Lanka Kerek Suku Bunga Acuan ke Level Tertinggi Jadi 15,5 Persen
Inflasi Jepang Melampaui Target Bank Sentral
Inflasi konsumen tahunan Jepang pada bulan Mei melampaui target yang telah ditetapkan Bank Sentral Jepang (BOJ). Hal tersebut berdasarkan data yang diterbitkan pada Jumat (24/6/2022).
Data tersebut bertolak belakang dengan pernyataan BOJ yang menyebut kenaikan harga baru-baru ini hanya bersifat sementara dan tidak menjamin penarikan stimulus moneter.
Namun dengan pertumbuhan upah yang lemah, banyak analis memperkirakan BOJ akan tetap fokus untuk mendorong perekonomian yang lesu daripada melawan inflasi dengan menaikkan suku bunga.
Data menunjukkan indeks harga konsumen (CPI) Jepang naik 2,1 persen pada Mei tahun ini dibanding dari tahun sebelumnya, sesuai dengan perkiraan pasar.
Namun ini berada di atas target BOJ untuk bulan kedua secara berturut-turut, yaitu sebesar 2 persen, menyusul inflasi di bulan April yang mencapai 2,1 persen dan merupakan laju kenaikan tercepat dalam tujuh tahun.
Baca juga: Laju Inflasi Sri Lanka Diprediksi Sundul 70 Persen dalam Beberapa Bulan Mendatang
Core CPI, yang mengecualikan biaya makanan dan bahan bakar, naik 0,8 persen di bulan Mei dari tahun sebelumnya, setelah naik dengan laju yang sama di bulan April.
"Harga pangan naik cukup signifikan bahkan ketika pertumbuhan upah tetap lambat. Ini dapat merugikan konsumsi dan membuat pengecer ragu-ragu untuk membebankan biaya lebih lanjut kepada konsumen," kata ekonom senior di Shinkin Central Bank Research Institute, Takumi Tsunoda.
Tsunoda menambahkan, ia tidak berpikir inflasi konsumen akan mencapai 3 persen.
"Saya tidak berpikir inflasi konsumen inti akan mencapai 3 persen kecuali harga barang dan jasa harian yang lebih luas naik," tambahnya.
Sementara kenaikan harga bahan bakar tetap menjadi pendorong utama kenaikan CPI. Laju kenaikan harga energi year-to-year melambat menjadi 17,1 persen di bulan Mei, dari sebelumnya 19,1 persen di bulan April.
Sedangkan untuk harga makanan, tidak termasuk sayur, daging dan ikan, naik 2,7 persen di bulan Mei. Kenaikan ini menjadi yang tercepat sejak tahun 2015.
Baca juga: Pemerintah dan Bank Indonesia Diminta Jaga Inflasi Agar Rupiah Tak Semakin Terpuruk
Naiknya harga bahan bakar dan pangan, yang diperparah oleh invasi Rusia ke Ukraina dan pelemahan nilai mata uang Yen yang meningkatkan biaya impor, diperkirakan oleh para analis akan membuat inflasi konsumen inti Jepang berada di atas target 2 persen BOJ untuk sebagian besar tahun ini.
Namun tidak banyak yang dapat mendukung BOJ, karena konsumen rumah tangga menghadapi kenaikan biaya hidup dan pertumbuhan upah yang lambat.
Gubernur BOJ, Haruhiko Kuroda telah berulang kali mengatakan bank sentral akan menjaga kebijakan moneter super longgar hingga permintaan domestik kembali kuat dan pertumbuhan upah semakin meningkat.
Inflasi Korea Selatan Cetak Rekor Tertinggi Dalam Kurun Waktu 24 Tahun Terakhir
Inflasi Korea Selatan pada bulan Juni mencapai level tertinggi sejak krisis keuangan Asia yang terjadi lebih dari dua dekade lalu.
Data menunjukkan pada Selasa (5/7/2022) indeks harga konsumen tumbuh sedikit lebih cepat dari perkiraan, yakni sebesar 6,0 persen pada bulan Juni dibandingkan tahun sebelumnya, sekaligus yang tertinggi sejak November 1998.
Sementara data lain menunjukkan cadangan devisa menyusut paling besar sejak akhir 2008.
Baca juga: The Fed Berencana Kerek Lagi Suku Bunga untuk Antisipasi Lonjakan Inflasi AS
Ekonom dan pakar pasar Korea Selatan menepis bahwa negara tersebut yang jatuh ke dalam krisis seperti yang terjadi beberapa kali di masa lalu.
Tetapi beberapa dari mereka juga memperingatkan pemerintah dan bank sentral yang saat ini sedang menghadapi masa sulit.
"Pembuatan kebijakan akan menjadi semakin sulit karena mereka memiliki campuran risiko inflasi naik dan risiko pertumbuhan ekonomi turun yang terus berlanjut untuk saat ini," kata Park Seok-gil, seorang analis di JPMorgan Chase Bank.
Angka inflasi yang tinggi memperkuat kasus kenaikan suku bunga kebijakan bank sentral sebesar 50 basis poin yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kerentanan Korea Selatan terhadap guncangan eksternal terjadi akibat ketergantungan yang besar pada perdagangan luar negeri dan arus modal lintas batas, yang juga telah membuatnya berada di bawah tekanan dengan meningkatnya dana yang keluar dari pasar saham lokal dan turunnya nilai won.
Mencerminkan ketegangan, premi credit default swap (CDS) bertenor lima tahun negara itu telah melonjak 30,57 basis poin dan saat ini menjadi 52,54, tertinggi sejak hari-hari awal pandemi Covid-19 pada awal 2020.
Baca juga: RI di G20: Inflasi Tinggi Bikin Negara Berkembang Jatuh ke Jurang Kemiskinan
Pasar keuangan lokal tidak menunjukkan tanda-tanda panik pada Selasa ini, dengan persepsi bahwa masalah yang dihadapi Korea Selatan sebagian besar dari luar negeri dan tren global.
Pasar saham, obligasi dan mata uang semuanya membukukan keuntungan kecil.
Di sisi lain, tekanan terus meningkat di atas pemerintahan Presiden konservatif Yoon Seok-yeol, yang baru mulai bekerja dua bulan lalu dan belum memberikan blue print mengenai kebijakan yang luas tentang bagaimana membuat perbedaan dari pendahulunya.
Presiden Yoon telah memerintahkan reformasi sektor publik, menyerukan penjualan aset menganggur dan penghematan pengeluaran, sambil berjanji bahwa dia akan memimpin pertemuan darurat tentang ekonomi setiap minggu.
Sejak Yoon menjabat, bank sentral telah menjual dolar untuk mengamankan jatuhnya mata uang won ke level terlemah sejak krisis keuangan global 2008-2009.
Baca juga: The Fed Berencana Kerek Lagi Suku Bunga untuk Antisipasi Lonjakan Inflasi AS
Bank of Korea mengatakan bahwa pihaknya menjual sebagian dari cadangan devisanya selama empat bulan berturut-turut mulai bulan Juni untuk mengurangi volatilitas di pasar valuta asing.
Bank of Korea tidak mengungkapkan berapa banyak yang dijual, tetapi intervensi serta lonjakan dolar terhadap mata uang utama lainnya menyebabkan nilai dolar dari cadangan devisanya menyusut sebesar 9,43 miliar dolar AS pada bulan Juni.
Sementara itu, cadangan devisa Korea Selatan menduduki peringkat kesembilan di dunia pada akhir Mei dengan jumlah 438,28 miliar dolar AS, cukup untuk menutupi lebih dari tujuh bulan impor berdasarkan jumlah rata-rata bulanan untuk tahun ini.