Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, KOLOMBO – Sri Lanka telah melanjutkan diskusi teknis dengan Dana Moneter Internasional (IMF) mengenai pemberian bantuan keuangan atau bailout.
Sebelumnya, diskusi dengan pemberi pinjaman multilateral juga telah dilakukan pada bulan April di bawah mantan Presiden Gotabaya Rajapaksa.
Dikutip dari Reuters, Minggu (31/7/2022) Pemerintah Sri Lanka berharap untuk mendapatkan Fasilitas Dana Perpanjangan (Extended Fund Facility - EFF) yang menjadi syarat untuk melakukan reformasi ekonomi demi keluar dari krisis.
Baca juga: Mantan Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa Dijadwalkan Jalani Sidang Atas Petisi Krisis Ekonomi
Ranil Wickremesinghe yang saat ini menjadi presiden Sri Lanka juga berharap untuk dapat merestrukturisasi utang negara tersebut.
“Pembicaraan dengan IMF sangat berhasil dan Sri Lanka bekerja dengan para penasihat untuk mencapai konsensus mengenai kesepakatan dengan kreditur,” kata pemerintah Sri Lanka.
IMF sendiri terkenal akan solusi bailout yang mereka tawarkan kepada negara-negara yang mengalami krisis. Program ini juga pernah diberikan kepada negara-negara seperti Pakistan dan Yunani.
Sementara itu, Bank Dunia pada hari Jumat (29/7) mengatakan bahwa pihaknya tidak berencana untuk menawarkan pembiayaan baru ke Sri Lanka, yang saat ini sedang berjuang melawan krisis ekonomi terburuknya sepanjang sejarah.
Bank Dunia juga menyarankan Sri Lanka untuk mengadopsi reformasi struktural yang berfokus pada stabilisasi ekonomi untuk mengatasi akar penyebab krisisnya,
Krisis Ekonomi Sri Lanka
Sri Lanka, negara yang berpenduduk sekitar 22 juta jiwa telah mengalami krisis ekonomi terburuk dalam beberapa bulan terakhir.
Mengutip dari Aljazeera, Sri Lanka dihadapkan pada kekurangan bahan bakar, makanan dan obat-obatan.
Baca juga: Bank Dunia Tidak Berencana Menawarkan Pembiayaan Baru Untuk Sri Lanka yang Dilanda Krisis Ekonomi
Krisis itu semakin diperparah oleh pinjaman dalam jumlah besar yang tidak mampu dibayarkan oleh negara itu.
Akibat krisis itu, Sri Lanka memilih untuk menangguhkan pembayaran pinjaman luar negerinya senilai 51 miliar dolar AS, di mana 28 miliar dolar AS harus dibayar pada tahun 2027.