TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kabar akan naiknya harga mi instan hingga tiga lipat akibat lonjakan harga gandum di pasar internasional ternyata tidak benar. Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Franciscus Welirang menyebut kabar tersebut berlebihan.
Pria yang akrab disapa Franky ini menjelaskan, pada dasarnya komponen mi instan tidak serta merta 100 persen berasal dari bahan baku gandum. Sehingga, naiknya harga gandum tidak bakal membuat harga mi instan tiba-tiba melonjak signifikan.
"Mengenai kabar harga mi instan bisa naik tiga kali lipat, itu berlebihan. Kan saat ini harga gandum belum naik sampai 100 persen," ucap Franky saat dihubungi Tribunnews, Jumat (12/8/2022).
"Kemudian juga mi instan itu dalam costing banyak komponen lainnya (selain gandum)," sambungnya.
Franky melanjutkan, sebenarnya harga gandum dunia telah mengalami kenaikan sejak tahun 2021 dan bukan terjadi baru-baru ini saja.
Nyatanya, seiring dengan meningkatnya harga gandum tidak membuat harga mi instan mengalami lonjakan signifikan.
Baca juga: Harga Mi Instan akan Naik Tiga Kali Lipat, Menparekraf Wanti-wanti Pelaku UMKM dan Anak Kos
"Sampai saat ini harga gandum dunia sudah tinggi, jadi kalau nanti ada kenaikkan terigu, harga mi instan tidak akan ikut tinggi. Naiknya harga gandum maupun terigu sudah terjadi sejak 2021," paparnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Ratna Sari Loppies mengungkapkan, saat ini suplai gandum Indonesia aman, tidak terganggu oleh perang Rusia dan Ukraina.
Pasokan gandum ke Indonesia banyak didatangkan dari Australia, Amerika, ataupun Kanada.
"Importir gandum ke Indonesia yang terbesar bukan Rusia. Yang besar itu dari Australia," papar Ratna saat dihubungi Tribun melalui telepon seluler.
Baca juga: Saat Dua Menteri Jokowi Tak Kompak Soal Kenaikan Harga Mi Instan, Pernyataan Mentan Dibantah Mendag
Ia melanjutkan, apabila mi instan mengalami peningkatan harga, hal tersebut tidak sepenuhnya imbas naiknya harga gandum. Terdapat juga andil kenaikan dari komponen bahan baku lainnya.
Untuk mi instan sendiri, terdiri dari beragam komponen seperti gula, minyak, cabai, bawang, dan lain-lainnya. Belum lagi pada kemasannya terdapat komponen seperti plastik dan juga karton.
"Mi instan kalau naik kan tidak hanya terigu, dalam mi instan itu komponennya banyak seperti cabai, minyak, ada juga packaging," ujarnya.
Dalam catatan Aptindo, harga tepung hanya berkontribusi sekitar 20 persen dari total biaya produksi mi instan. Ratna mengatakan kenaikan harga mi instan justru bisa akan berdampak langsung ke komoditas bahan pokok lainnya seperti cabai dan minyak goreng.
Sementara industri berbasis tepung yang lain seperti roti dan biskuit relatif aman.
"Karena di produk tersebut ada gula, mentega, susu, dan bahan lainnya, tidak melulu tepung terigu," kata Ratna.
Ratna menilai kenaikan harga tepung terigu malah berdampak pada industri berbasis tepung berskala kecil dan menengah.
Beberapa industri tersebut di antaranya mi basah yang biasa dipasok untuk penjual mi ayam hingga kue tradisional.
Sementara Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, pemerintah Indonesia harus waspada dengan kenaikan harga gandum karena dapat memicu inflasi.
Huda menekankan nilai impor gandum Indonesia dari Ukraina relatif besar, walaupun Indonesia lebih banyak impor dari Australia.
"Seluruh negara dunia saat ini khawatir akan krisis pangan akibat pasokan global terganggu," tuturnya.
Huda mengatakan Indonesia yang sangat bergantung pada impor gandum di dunia mau tidak mau membuat industri pengguna tepung harus menaikkan biaya produksinya.
"Ini berbahaya karena inflasi makanan, minuman, dan tembakau merupakan penyumbang inflasi tertinggi," ujarnya.
Dia meminta pemerintah mewaspadai inflasi di dalam negeri ditambah dari krisis energi yang bisa berdampak ke kenaikan harga transportasi.(Tribun Network/ism/nas/wly)