Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengingatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera menyusun desain besar tentang penyelesaian kredit berisiko atau loan at risk (LAR) dan non-performing loan (NPL) alias kredit macet di perbankan swasta.
Hal itu dikatakan dalam rapat kerja Komisi XI DPR dengan Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (31/8/2022).
Menurutnya, mesti ada manajemen risiko yang mumpuni agar kredit bermasalah tidak mengganggu perekonomian.
Baca juga: Suku Bunga The Fed Naik, Pengamat: Bom Waktu Kredit Macet di RI
“Saya belum melihat sebuah desain besar dari OJK bagaimana dengan loan at risk dan NPL yang mempunyai potensi menimbulkan persoalan besar, apakah mereka dibiarkan stay di perbankan, atau mereka dikeluarkan dari situ,” ujar Misbakhun.
Legislator Partai Golkar itu menambahkan ketiadaan manajemen risiko akan berdampak besar bagi perekonomian ketika ada persoalan.
“Risikonya besar karena manajemen risiko sektor swastanya yang belum bisa kita kelola,” katanya.
Misbakhun menjelaskan tingkat restrukturisasi kredit di kisaran 26-30 persen dari total pinjaman yang disalurkan perbankan.
Baca juga: DPR Minta Pemerintah Pusat Bantu Pengusaha Bali Atasi Kredit Macet
“Itu, kan, menunjukkan ada loan at risk begitu tinggi di sana,” tuturnya.
Dia menilai LAR yang tinggi disebabkan OJK melakukan pengecualian dalam program restrukturisasi.
Menurut dia, pengecualian itu tidak mengklasifikasikan LAR ke dalam kategori NPL.
“Pengecualian yang seperti ini, kan, memberikan loan at risk yang lebih tinggi,” tuturnya.
OJK menjalankan program restrukturisasi kredit sejak Maret 2020 untuk menanggulangi dampak Covid-19. Program itu telah diperpanjang dan akan berlaku hingga hingga 31 Maret 2023.
Ketua Dewan Komisioner Mahendra Siregar dalam raker Komisi XI DPR menjelaskan jumlah kredit yang direstrukturisasi maupun debiturnya mengalami penurunan.
Dia memerinci angka retrukturisasi kredit per Juli 2022 sebesar Rp 560,41 triliun atau turun dari Rp 576,17 triliun pada bulan sebelumnya.
Jumlah debiturnya pun mengalami penurunan. Per Juli 2022, debitur yang masuk program itu mencapai 2,94 juta, sedangkan pada Juni 2022 masih di angka 2,99 juta.
“Kredit restru Covid-19 dan jumlah debitur terus bergerak melandai,” ujarnya.