TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Manajer Ekosistem Pertanian Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) Puji Sumedi mengatakan sumber pangan lokal perlu kembali dikembangkan.
Menurutnya, kebiasaan baik mengonsumsi pangan lokal kian meluntur akibat perubahan pola konsumsi instan.
Hal tersebut perlu dibenahi untuk menghadapi tantangan krisis pangan dan inflasi global yang penuh ketidakpastian.
"Budidaya lestari menjadi kekuatan dan daya saing dalam pengembangan pangan lokal yang adaptif terhadap krisis," tutur Puji dalam diskusi Mewujudkan Kedaulatan Pangan Nasional, Selasa (6/9).
Baca juga: Pemerintah Dinilai Perlu Perkuat Rantai Pasok Seiring Kenaikan Harga Pangan
Puji berujar sumber pangan lokal yang paling berlimpah di antaranya komoditas sorgum di kawasan timur Indonesia. Dia mendorong agar masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT) berpartisipasi mendorong kekuatan pangan lokal.
Selain itu juga harus ada pendampingan kelembagaan dan sinergi para pihak demi mewujudkan pengembangan diversifikasi pangan.
"Kita perlu mengembalikan konsep pangan nusantara yang didasarkan pada keberagaman sumber daya hayati dan budaya lokal," urainya.
Yayasan Kehati memandang, ke depan keberagaman pangan nasional seharusnya masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Puji menambahkan Indonesia tidak bisa lagi hanya bergantung pada beras sebagai asupan
karbohidrat.
"Pemerintah agar menyusun target nasional penurunan konsumsi beras sebagai sumber karbohidrat dan menggantinya dengan ragam pangan nusantara," ujar dia.
Sorgum, terang Puji, dapat menjadi alternatif pengganti beras di tengah tingginya konsumsi terigu.
Dari aspek kesehatan, sorgum tidak hanya berkarbohidrat tetapi juga sumber pangan tinggi protein.
"Kandungan gizi sorgum rendah kalori dan indeks glikemik rendah serat dengan catatan sudah ada kesadaran gaya hidup," paparnya.
Baca juga: PBB: Banjir yang Hancurkan Pakistan Bisa Perburuk Ketahanan Pangan di Afghanistan
Pihaknya mendorong pemerintah merealisasikan Cadangan Pangan Masyarakat (CPM)
sesuai UU Pangan Pasal 33 di mana masyarakat punya hak dan kesempatan seluas-
luasnya dalam mewujudkannya.
"Pengembangan benih yang bersumber dari keanekaragaman hayati Indonesia dapat melahirkan petani muda serta melindungi hak-hak pelestari dan masyarakat hukum ada sebagai pengampu," pungkas Puji.
Kurangi Impor
Kepala Biotech Center Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mencatat
angka konsumsi pangan lokal dari gandum di Indonesia terus meningkat dari tahun ke
tahun. Menurut data yang dimiliki Andreas, konsumsi gandum di masyarakat mencapai
26 persen dan tahun ini lebih dari 27 persen.
Membesarnya tingkat konsumsi gandum ini, kata dia, disebabkan beberapa hal.
Pertama karena harganya murah sebelum konflik Ukraina dan Rusia meletus, harga
tepung gandum berada di kisaran antara Rp8.500 - Rp9.000.
Sementara tepung sorgum dan tapioka berkisar di antara Rp16.000 - Rp30.000 per
kilogram. Bahkan jika dibandingkan dengan beras kualitas medium, masih lebih murah.
"Lebih rendah dibanding beras medium yang harganya Rp10.400," ujar Dwi Andreas.
Faktor kedua adalah sesuai dengan selera orang Indonesia.
"Gandum ini mengubah selera dan pola makan. Itu dilakukan industri gandum puluhan tahun dengan mengeluarkan dana ratusan triliun. Anak sekarang disuruh makan pecel yang
merupakan pangan lokal kita mau tidak? Tidak kan. Tapi kalau ditawari pizza, pasti
langsung mau," sambungnya.
Ketiga, tidak adanya diversifikasi pangan, sejak kebijakan menjadikan beras sebagai
makanan pokok nasional di masa pemerintahan Orde Baru, konsumsi bahan pangan
lokal seperti sagu, jagung, dan sorgum menurun.
Namun belakangan, konsumsi beras nasional juga mulai turun dan telah tergeser oleh gandum.
"Pertumbuhan konsumsi pangan dari gandum di Indonesia tiap tahun naik 16,5 persen
bisa dibayangkan?" ujarnya.
Andreas mengatakan satu-satunya jalan mengurangi ketergantungan impor pangan
dengan melaksanakan kebijakan diversifikasi pangan secara sungguh-sungguh.
(Reynas)