Hal ini mengingat pola masyarakat yang sudah telanjur nyaman dengan penggunaan kompor elpiji, karena proses memasak yang lebih cepat.
“Budaya masyarakat menggunakan kompor listrik sepertinya butuh waktu lebih lama untuk diubah. Jangankan orang miskin, kelompok menengah atas sebenarnya sudah lama mengenal kompor listrik. Tapi mereka nyaman pakai Elpiji karena proses memasak lebih cepat,” kata Bhima yang dikutip dari Kompas.com.
Bhima mengungkapkan, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan penting, jika pemerintah ingin melakukan konversi kompor elpiji ke kompor listrik.
Pertama, dalam hal daya listrik di mana pemerintah harus benar-benar memastikan hal ini tidak membebani masyarakat.
Pasalnya, masyarakat berpikir bahwa konversi kompor elpiji ke kompor listrik akan meningkatkan daya listrik, dan berpotensi meningkatkan biaya listrik. Sehingga otomatis akan menambah pengeluaran masyarakat.
“Daya listrik yang dibutuhkan untuk kompor listrik relatif besar, semntara kelompok 450 VA adalah golongan pemakai elpiji subsidi terbanyak sehingga kurang cocok. Kalau dinaikkan daya listriknya maka beban tagihan listrik akan naik dan merugikan orang miskin,” ungkap dia.
Kedua, Bhima menilai pemerintah tidak mungkin memberikan kompor listrik beserta dengan alat masaknya secara gratis mengingat biaya yang cukup besar.
Ketiga, saat pemerintah ingin mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, justru pemerintah dominan menggunakan batu bara dan BBM pada pembangkit listrik di hulu.
“Jadi sama saja konsumsi listrik naik maka PLTU yang butuh batubara semakin tinggi. Beban hanya pindah dari penghematan di hilir jadi kenaikan pembelian batu bara dan BBM impor di hulu pembangkit,” ujar dia.
Untuk diketahui, kompor induksi yang diberikan pemerintah rencananya terdiri dari dua tungku.
Masing-masing tungku membutuhkan daya 800 watt. Jadi untuk satu kompor induksi memerlukan daya sebesar 1600 watt, karenanya daya listrik pelanggan sasaran program ini akan dinaikan dari 450 VA atau 900 VA menjadi 2200 VA.