Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonomi dunia sedang meluncur ke dalam resesi karena melonjaknya harga energi, dan badai inflasi yang dipicu invasi Rusia ke Ukraina.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memperingatkan perekonomian global diprediksi akan terjun ke jurang resesi pada 2023.
Menurunnya, kinerja perekonomian di sejumlah negara maju seperti China, Amerika Serikat, Jerman hingga Inggris, menjadi sinyal perlambatan ekonomi global.
"Hampir semua negara kondisi pertumbuhan kuartal II 2022 itu melemah dibandingkan pertumbuhan kuartal I 2022, dan ini sangat ekstrim. Seperti China, kemudian Amerika Serikat, Jerman, Inggris dan negara lain mengalami koreksi," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, yang dikutip dari Tribunnews.
Baca juga: OJK Sebut Kinerja Perusahaan Pembiayaan Masih Menjanjikan di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global
Turunnya kinerja perekonomian global disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari harga komoditas yang masih volatile, perlambatan aktivitas manufaktur global, hingga pengetatan kebijakan moneter.
"Ini kemungkinan akan berlanjut di kuartal III 2022 dan sampai akhir tahun. Tren terjadinya pelemahan sudah terlihat dan akan terlihat di kuartal IV 2022, sehingga prediksi hingga tahun depan termasuk kemungkinan terjadinya resesi akan muncul," tambah Sri Mulyani.
Sejumlah negara terancam jatuh ke dalam resesi, dengan beberapa diantaranya secara teknikal sudah tercebur ke jurang resesi, berikut ini daftarnya:
1. China
Melansir dari The Guardian, kebijakan nol-Covid dan krisis pasar perumahan telah menempatkan pertumbuhan China di belakang negara-negara di kawasan Asia Pasifik lainnya untuk pertama kalinya dalam lebih dari 30 tahun terakhir, menurut proyeksi yang diungkapkan Bank Dunia pada Selasa (27/9/2022).
Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) China hanya mencapai 2,8 persen untuk tahun 2022. Sementara ke-23 negara lainnya di kawasan Asia-Pasifik diperkirakan akan mengalami pertumbuhan PDB rata-rata 5,3 persen.
Komitmen China terhadap kebijakan nol-Covid yang ketat telah mengganggu industri serta penjualan dan ekspor domestik, kata Bank Dunia.
Krisis di sektor perumahan dan properti China juga memperburuk kondisi ekonomi negara tersebut. Pada bulan Agustus, harga rumah baru di 70 kota di China turun lebih buruk dari perkiraan 1,3 persen secara year-on-year.
Pada tahun 2021, China mencatat pertumbuhan PDB tahunannya sebesar 8,1 persen, rekor terbaik negara itu dalam satu dekade, dan memperkirakan PDB akan tumbuh 5,5 persen di tahun 2022. Namun Bank Dunia tahun ini telah memperkirakan perlambatan, dengan pertumbuhan PDB China hanya mencapai 5 persen, hingga merevisi lebih jauh pada data yang dirilis Selasa kemarin. Untuk tahun 2023, negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu diproyeksikan tumbuh sebesar 4,5 persen.
2. Amerika Serikat
PDB AS turun selama dua kuartal berturut-turut, 1,6 persen selama kuartal pertama tahun ini, dan 0,9 persen di kuartal kedua tahun 2022.
Baca juga: Ekonomi Amerika Kontraksi, Joe Biden hingga Janet Yellen Bantah AS Mengalami Resesi
Dikutip dari BBC, secara teknikal penurunan PDB dalam dua kuartal berturut-turut disebut sebagai resesi. Ada banyak perdebatan mengenai apakah AS berada di dalam resesi atau tidak, setelah dua kuartal berturut-turut pertumbuhan PDB berada di zona negatif.
Untuk mengendalikan laju inflasi yang tinggi, bank sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) memperketat kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga.
The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin untuk ketiga kalinya pada pertemuan di bulan ini, ke kisaran 3,00-3,25 persen, dan mengisyaratkan kenaikan yang lebih besar di masa mendatang.
Baca juga: ADB Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI 2023, Analis Bilang Faktor Ketidakpastian Ekonomi Global
Bahayanya adalah, jika The Fed melangkah lebih jauh hal tersebut dapat mencekik pertumbuhan ekonomi dan menyebabkan lonjakan pengangguran, suatu risiko yang memicu kekhawatiran resesi saat ini.
3. Inggris
Ekonomi Inggris tumbuh lebih rendah dari perkiraan, akibat kenaikan harga energi yang tajam dan harga bahan baku yang memukul sektor konstruksi sehingga meningkatkan risiko terjadinya resesi.
Kantor Statistik Nasional Inggris (ONS) mencatat inflasi pada bulan Agustus mencapai 9,9 persen. Beberapa ekonom mengatakan data yang dirilis ONS menunjukkan ekonomi negara itu mengalami penyusutan untuk periode Juli hingga September, setelah mengalami kontraksi sebesar 0,1 persen pada bulan April hingga Juni.
Pada bulan Agustus, Bank of England memperkirakan resesi Inggris akan berlangsung dari akhir tahun 2022 hingga awal 2024, yang sebagian besar didorong oleh kenaikan harga energi akibat konflik antara Rusia dan Ukraina.
Perdana Menteri Inggris Liz Truss telah mengumumkan batas tarif energi domestik dan putaran pemotongan pajak yang diharapkan dapat mengurangi pukulan lebih lanjut terhadap ekonomi Inggris. Namun kebijakan tersebut memakan keuangan publik hingga 100 miliar pound atau 116 miliar dolar AS.
ONS mengatakan lonjakan harga listrik telah menurunkan permintaan energi di Inggris. Sementara biaya listrik di Inggris naik 54 persen dalam 12 bulan hingga bulan Juli lalu.
4. Jerman
Jerman sebenarnya belum masuk ke dalam resesi secara teknikal, karena pertumbuhan ekonomi negara itu di kuartal kedua tahun ini mencapai 1,7 persen secara tahunan.
Namun menurut Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), Jerman akan masuk ke dalam resesi pada tahun 2023, dengan pertumbuhan ekonomi terlihat menyusut 0,7 persen.
Baca juga: Ekonomi Jerman Menuju Jurang Resesi oleh Embargo Gas Rusia
Perang di Ukraina dan embargo minyak Rusia diperkirakan akan menghambat pemulihan ekonomi Jerman, kata OECD. Meningkatnya inflasi di negara dengan ekonomi terbesar di Eropa ini, akan mengurangi daya beli rumah tangga dan meredam rebound konsumsi swasta.
Kepercayaan investor dan konsumen telah runtuh dan gangguan rantai pasokan semakin memburuk, menunda pemulihan produksi industri dan ekspor menjelang akhir tahun 2022.
Pemulihan dapat tergelincir lebih lanjut oleh penghentian impor gas dari Rusia dan penguncian atau lockdown terus-menerus di China, tambah OECD.
5. Italia
Melonjaknya harga energi yang membebani operasional bisnis, menyebabkan lebih dari 100.000 usaha di Italia terancam tutup. Kepala Asosiasi Bisnis Italia Confcommercio, Carlo Sangalli mengatakan kenaikan harga energi juga akan berdampak pada hilangnya 370.000 pekerjaan.
“Saat ini banyak perusahaan yang melakukan reorganisasi atau pengurangan layanan. Antara sekarang dan paruh pertama tahun 2023, setidaknya 120.000 usaha kecil di sektor jasa terancam… Ini adalah perkiraan yang hati-hati yang tidak memperhitungkan perusahaan terbesar," ujar Sangalli, yang dikutip dari Russia Today.
Sangalli mencatat, harga energi di Italia bahkan jauh lebih tinggi daripada di negara lain, sehingga membebani usaha kecil dan menengah.
“Dalam hal biaya energi, hotel, bar, restoran, dan toko kami akan membayar 40-60 persen lebih banyak untuk tagihan mereka tahun ini daripada di Jerman, dan tiga kali lipat dari di Prancis ,” kata Sangalli.
Italia telah berjuang melawan inflasi yang mencapai rekor tertinggi. Inflasi tahunan negara itu mencapai 8,4 persen pada bulan bulan Agustus, yang sebagian besar didorong oleh lonjakan harga energi.
Negara ini bergantung pada impor untuk memenuhi 75 persen pasokan energi. Pada awal tahun ini, Italia mengimpor 40 persen gasnya dari Rusia, namun pada bulan Juli pembelian energi dari Rusia mengalami penurunan sebanyak 25 persen akibat adanya saksi atas invasi Moskow ke Ukraina.
Menurut jajak pendapat yang dilakukan baru-baru ini, lebih dari 70 persen orang Italia mengalami kesulitan atau tidak mampu membayar tagihan energi mereka.
Sembilan dari sepuluh orang Italia berencana memotong pengeluaran agar bisa membayar tagihan energi mereka, dengan cara membatasi pengeluaran untuk pergi ke restoran, bar dan membeli pakaian.