Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menyampaikan kekhawatirannya terkait rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan Swasembada Gula 2025, dapat menjadi ruang impor komoditas tersebut secara masif.
Ketua Umum DPN APTRI Soemitro Samadikoen mengatakan, Perpres tersebut tidak masuk akal karena salah satu poin utama dalam Perpres, pemerintah akan memberi fasilitasi PTPN III untuk melakukan impor gula.
Menurut Soemitro, swasembada gula sebenarnya sudah berkali-kali dicanangkan sejak masa Presiden Susilo Bambang Yudhyono, yang mulai pada 2008 kemudian berlanjut 2013.
Baca juga: Panen Tebu di Jombang, Awal Menuju Swasembada Gula dan Ketahanan Pangan
Target swasembada gula selalu meleset, dan di era pemerintahan Jokowi, target swasembada gula juga selalu meleset saat ditargetkan pada 2019 dan 2022.
“Ini ada pencanangan swasembada lagi di tahun 2025. Itu omong kosong dan hanya akal-akalan. Aneh, swasembada, tapi ujung-ujungnya impor,” kata Soemitro dalam keterangannya, yang ditulis Jumat (30/9/2022).
Menurutnya, program swasembada tidak pernah tercapai karena pemerintah tidak pernah serius menjalankan program swasembada.
Dalam ketentuannya, semua perusaahan (BUMN atau Swasta) yang membangun pabrik gula baru (produksi gula konsumsi) diwajibkan untuk menanam tebu.
Sebagai kompensasi mereka mendapat kuota impor raw sugar (gula mentah) selama 5 tahun sebagai bahan baku.
“Semenjak SBY sampai Jokowi juga terus begitu. Anehnya, selama ini tidak pernah ada sanksi tegas bagi yang mendapat izin impor tapi tidak mau menanam tebu,” tandasnya.
Sekretaris Jenderal DPN APTRI M. Nur Khabsyin menambahkan, program swasembada gula yang dicanangkan pemerintah sebenarnya dihambat sendiri oleh kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada petani.
Baca juga: Waspadai 3 Penyakit Akibat Mengonsumsi Gula Berlebihan
Sebagai contoh adalah kebijakan Harga Pokok Pembelian (HPP) gula petani yang tak pernah naik antara tahun 2016 sampai 2022.
“Sejak beberapa tahun terakhir, HPP tak pernah beranjak dari angka Rp 9.100 per kg. Baru awal giling tahun ini HPP dinaikkan menjadi Rp 11.500 per kg. Meski naik, sebenarnya HPP tersebut juga belum bisa menutup biaya pokok produksi (BPP) yang sudah melebih Rp 12.000 per kg,” ujarnya.
Selain itu, ada pula kebijakan HET (harga eceran tertinggi) gula sebesar Rp 12.500/kg sejak tahun 2016 - 2022 sangat membelenggu petani walaupun awal musim giling tahun ini naik menjadi Rp 13.500.
Seharusnya, pemerintah tidak perlu mengatur harga jual gula karena gula bukan milik pemerintah sebagaimana halnya BBM, tetapi pemerintah cukup menetapkan HPP gula saja.
“Selain itu ada pula kebijakan pencabutan subsidi pupuk yang menyebabkan pupuk langka dan harganya naik 300 persen-500 persen, ini membuat BPP semakin meningkat,”ujarnya.
Menurut Khabsyin, pemerintah sebenarnya tak perlu terbitkan Perpres percepatan swasembada karena program sebelumnya sudah bagus dan sudah ada roadmapnya.
Langkah yang perlu dilakukan sebenarnya, kata Khasbsyin, hanya menagih janji bagi perusahaan yang mendapat izin impor untuk melaksanakan kewajibannya menanam tebu.