TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi perhatian, di mana skema power wheeling disebut membuka ruang liberalisasi sektor ketanagalistrikan nasional dan akhirnya berpotensi merugikan keuangan negara.
Skema power wheeling merupakan pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik.
Tujuannya untuk mentrasnfer energi listrik dari sumber energi terbarukan atau pembangkit non-PLN ke fasilitas operasi perusahaan dengan memanfaatkan jaringan transmisi yang dimiliki dan dioperasikan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Baca juga: Ombudsman Harap Pemerintah dan DPR Segera Sahkan RUU EBT Demi Adanya Payung Hukum
Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef Abra Talattov mengatakan, terdapat pasal-pasal sebagai bentuk pengkhianatan terhadap mandat konstitusi dimana sektor ketenagalistrikan merupakan sektor strategis yang harus dikendalikan oleh negara.
"Saya kira dalih percepatan transisi energi melalui skema power wheeling sangat tidak masuk akal dan aroma liberalisasinya sangat menyengat," ujar Abra yang dikutip dari Kontan, Kamis (27/10/2022).
Menurutnya, sejumlah pasal yang perlu dicermati yakni asal 29 A, pasal 47 A, pasal 60 ayat 5.
Menurutnya, tidak ada urgensi sama sekali untuk menjadikan skema power wheeling sebagai pemanis atau sweetener dalam menstimulasi porsi pembangkit EBT.
Tanpa adanya gula-gula pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Dalam RUPLT paling green itu, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW.
"Artinya, dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6%," kata Abra.
Abra menilai pengusulan skema power wheeling kurang relevan, mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi oversupply listrik yang terus melonjak.
Ia bilang, saat ini kondisi sektor ketenagalistrikan kita sangat miris karena terjadi disparitas yang lebar antara supply dan demand listrik sehingga diproyeksikan oversupply listrik tahun 2022 ini akan menyentuh 6-7GW.
"Situasi oversupply listrik tersebut berpotensi makin membengkak karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari megaproyek 35 GW," katanya.
Abra melanjutkan, implikasi kerusakannya terhadap kesehatan keuangan negara. Di tengah kondisi oversupply listrik sebesar 1 GW saja, lanjut Abra, biaya yang harus dikeluarkan negara melalui PLN atas konsekuensi skema take or pay bisa mencapai Rp 3 triliun per GW.
"Secara sederhana kalau kita asumsikan rata-rata oversupply listrik sebesar 6-7 GW per tahun, maka potensi oversupply selama 2022-2030 mencapai 48GW - 56 GW atau setara dengan tambahan biaya Rp 144 triliun hingga Rp 168 triliun," paparnya. (Filemon Agung/Kontan)