Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, LONDON - Perusahaan riset ekonomi Capital Economics memperkirakan perekonomian Jepang akan memasuki resesi pada 2023 karena pertumbuhan ekspor melambat.
Ekonom senior Jepang di Capital Economics, Marcel Thieliant, mengatakan hal tersebut pada Selasa (6/12/2022).
“Kami pikir ekonomi Jepang akan memasuki resesi tahun depan,” katanya, yang dikutip dari CNBC.
Baca juga: Resesi Global di Depan Mata, Ini Inovasi yang Disiapkan Para Pelaku Industri Telekomunikasi
"Resesi sebagian besar akan didorong oleh penurunan ekspor dan juga dengan menjadi lebih berhati-hati, yang biasanya Anda lihat ketika ekspor mulai turun," tambahnya.
Jepang baru-baru ini melaporkan defisit perdagangan yang lebih besar dari perkiraan sebesar 15 miliar dolar AS untuk Oktober. Sementara ekspor naik 25,3 persen, lebih lambat dari pertumbuhan secara tahunan (year-on-year) sebesar 28,9 persen pada September.
Sementara itu, impor melonjak 53,5 persen secara year-on-year di Oktober, lebih tinggi dari pertumbuhan 45 persen di bulan sebelumnya. Negeri Matahari Terbit dijadwalkan untuk melaporkan data perdagangan bulanannya pada 15 Desember.
Secara terpisah, Jepang akan merilis revisi Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal ketiga 2022 pada Kamis (8/12/2022).
Analis yang disurvei oleh Reuters memperkirakan kontraksi tahunan 1,1 persen untuk kuartal ketiga tahun ini, setelah melihat kontraksi 1,2 persen pada kuartal sebelumnya.
Baca juga: Emiten Importir Buah dan Sayuran Optimistis Hadapi Isu Resesi 2023
Hal tersebut berarti perekonomian sudah menuju apa yang biasanya dikategorikan sebagai resesi teknis, yang didefinisikan sebagai pertumbuhan negatif pada dua kuartal berturut-turut.
Namun Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER), suatu organisasi penelitian nirlaba swasta Amerika Serikat, mendefinisikan resesi sebagai “penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan yang tersebar di seluruh perekonomian dan berlangsung lebih dari beberapa bulan”.
Thieliant mengatakan, Bank of Japan (BOJ) kemungkinan akan mempertahankan kebijakan moneter ultra-dovish dan tidak akan mulai menaikkan suku bunga acuan, terutama di tengah kekhawatiran resesi yang berkembang.
“Dalam lingkungan itu, akan sangat berani untuk mengetatkan kebijakan moneter,” ujar Thieliant.
Gubernur Bank of Japan, Haruhiko Kuroda, dilaporkan menepis kemungkinan meninjau sikap BOJ saat ini untuk mempertahankan suku bunga rendah.
“Bank telah mengindikasikan ingin melihat inflasi yang berkelanjutan dan jenis inflasi yang didorong oleh biaya yang kita lihat sekarang tidak berkelanjutan,” ungkap Thieliant.
Inflasi inti Jepang untuk November tercatat mencapai 3,6 persen, rekor tertinggi dalam 40 tahun terakhir dan lebih tinggi dari target BOJ sebesar 2 persen.
Baca juga: PepsiCo PHK Ratusan Pekerja Kantoran di AS untuk Antisipasi Inflasi dan Resesi
Meskipun ada perkiraan kontraksi dalam pertumbuhan ekonomi Jepang, pengeluaran rumah tangga negara itu secara konsisten meningkat, dan tumbuh 1,2 persen pada Oktober dibandingkan tahun lalu. Hal itu menandai kenaikan bulan kelima berturut-turut sejak jatuh 0,5 persen pada Mei.
Namun diperkirakan aktivitas konsumsi akan menunjukkan kelesuan, menurut Thieliant, yang mengatakan upah riil di negara tersebut pada akhirnya akan berdampak pada aktivitas konsumsi yang lebih luas.
“Pemulihan pengeluaran harus melambat karena rumah tangga ini terpukul oleh pendapatan riil,” kata Thieliant, seraya menambahkan Jepang dapat mengalami kontraksi paling tajam pada upah riil dalam lebih dari tujuh tahun terakhir.