Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Lembaga Sabang Merauke Circle (SMC) Syahganda Nainggolan mengomentari kerusuhan yang melibatkan tenaga kerja China dan pribumi di pabrik Smelter PT Gunbuster Nickel Industri (GNI) di Morowali Utara, Sulawesi Tengah.
Menurutnya, yang menjadi perhatian publik saat ini, merupakan dampak dari pembangunan yang salah sasaran.
“Seharusnya sejak awal pemerintahan Jokowi membatasi kehadiran pekerja asal RRC sebatas pekerja ahli, bukan buruh kasar,” ucap Syahganda dalam orasinya pada peringatan 49 Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) di Taman Ismail Marzuki Jakarta, dikutip Selasa (17/1/1023).
Baca juga: Update Situasi Terkini di PT GNI, Operasional Kembali Dimulai, Aparat Bersenjata Lengkap Masih Siaga
Begitu juga orientasi bisnisnya, imbuh dia, bukan semata-mata untuk kepentingan investor tersebut.
Menurut mantan Ketum Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI 98) ini, model pembangunan yang seharusnya dilakukan dalam mengelola tambang tidak diserahkan pada investor asing secara dominan.
Pelibatan investor cukup sebatas unsur pelengkap, sebab pertambangan dan industri smelter bukanlah industri yang rumit.
Apalagi jika mempertimbangkan kesejahteraan buruh lokal, seharusnya buruh ikut memiliki projek-projek pertambangan tersebut melalui program ESOP (Employment Stock Option Program).
Buruh-buruh industri tambang harus diisi mayoritas pribumi lokal dan keuntungan dibagi maksimal pada mereka.
Syahganda mengingatkan bahwa kerusuhan Jakarta pada peristiwa MALARI sebenarnya dapat menjadi pelajaran bahwa investor asing tidak boleh terlalu mendominasi.
Bahkan, setelah kerusuhan MALARI itu, Suharto dan Jepang berusaha membuat model pembangunan yang melibatkan kontrol masyarakat dan Bank Dunia di Indonesia.
“Pemerintah Jokowi dan DPR harus mengevaluasi semua investasi asing di pertambangan kita, untuk memastikan ada tidaknya potensi kerusuhan sosial di sektor tersebut, seperti yang terjadi di Morowali,” urainya.