Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah menggencarkan pemanfaatan energi ramah lingkungan, satu di antaranya pengembangan energi listrik melalui panas bumi.
Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, pengembangan sektor panas bumi menjadi salah satu strategi unggulan pemerintah untuk mencapai target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai Nationally Determined Contribution (NDC) dan transisi energi menuju Net-Zero Emissions (NZE) pada 2060.
“Panas bumi, sebagai salah satu energi baru dan terbarukan, energinya bersih dan stabil kapasitas pasokannya selama puluhan tahun sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai andalan pasokan listrik karena dapat diandalkan,” kata Dadan ditulis Sabtu (11/2/2023).
Baca juga: Anggota Komisi VI DPR Andre Rosiade: IPO PGE Bukan Privatisasi
Menurutnya, pemerintah juga telah melaksanakan sejumlah program untuk mempercepat implementasi panas bumi melalui insentif bea masuk, keringanan pajak saat eksplorasi, mekanisme pembiayaan yang menarik saat eksplorasi hingga program government drilling untuk menekan risiko dan cost project.
Pengembangan proyek PLTP umumnya membutuhkan waktu 7-10 tahun. Namun, pengembangannya dapat dipercepat dengan adanya government drilling.
Baca juga: IPO Dinilai Akan Tingkatkan Daya Saing PGE
Guna memenuhi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, di mana pada 2030 pemerintah menargetkan kapasitas terpasang panas bumi sebesar 3,35 GW, kata Dadan, pemerintah telah mengeluarkan Perpres No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Dia menyebutkan benefit terbesar dari Perpres yang baru saja dikeluarkan tersebut ada pada energi panas bumi, khususnya di Pulau Jawa.
Untuk itu, pemerintah berharap banyak dari pelepasan umum saham perdana PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) demi peningkatan kapasitas terpasang energi panas bumi di Tanah Air
“Yang menjadi nilai tambah adalah ekspansi PGEO berupa penambahan kapasitas. IPO ini salah satu upaya untuk memenuhi RUPTL. Kalau tidak ada penambahan kapasitas terpasang, maka IPO Pertamina Geothermal Energy juga tidak ada gunanya,” tambahnya.
Dadan mengatakan, IPO Pertamina Geothermal Energy juga dapat memberi sinyal positif bagi swasta dan investor untuk berinvestasi di sektor panas bumi nasional.
“PGEO akan menjadi satu-satunya perusahaan panas bumi yang pertama dan terbesar melantai di Bursa Efek Indonesia. Wilayah kerja yang dimiliki Pertamina Geothermal Energy itu kelas satu semua dan risikonya juga paling minimal,” tuturnya.
Indonesia memiliki potensi besar cadangan energi baru terbarukan, salah satunya yaitu panas bumi. RUPTL 2021-2030, mencatat potensi panas bumi di Indonesia mencapai 29.544 MW.
Adapun, hingga 2022, kapasitas terpasang energi panas bumi di Indonesia mencapai 2.347,63 MW (proyeksi Kementerian ESDM).
Dari total kapasitas terpasang energi panas bumi sebanyak 2.347,63 MW tersebut, PGEO mengelola 13 wilayah kerja panas bumi dengan total kapasitas terpasang sebesar 1.877 MW. Rinciannya, sebanyak 672 MW dikelola langsung dan 1.205 MW melalui operasi bersama (join operation contract).
Presiden Direktur PT Pertamina Geothermal Energy Ahmad Yuniarto menargetkan untuk meningkatkan kapasitas terpasang yang dikelola langsung menjadi 1.540 MW pada 2030.
“Itu artinya pada 2030, PGE berpotensi untuk memberikan kontribusi potensi pengurangan emisi karbon sebesar 9 juta ton per tahun dan menargetkan menjadi tiga besar perusahaan produsen panas bumi dunia,” paparnya.