Laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk alias laba bersih GIAA mencapai US$ 3,73 miliar. Nilai itu berbalik dari rugi senilai US$ 4,15 miliar pada 2021.
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia, Prasetio menjelaskan capaian laba bersih itu merupakan non-kas karena adanya pembalikan utang sehingga nanti akan dibukukan sebagai ekuitas.
"Tidak bisa bagi dividen juga karena itu non-cash. Jadi US$ 3,73 miliar itu tidak bisa kami pakai karena itu cuma buku," kata Prasetio kepada Kontan.co.id.
Memang pemulihan kinerja emiten pelat merah itu ditopang dari suntikan dana oleh pemerintah. Pada 2022, GIAA mendapatkan Penyertaan Modal Negara (PMN) senilai Rp 7,5 triliun.
Adapun dana PMN tersebut termasuk dalam dana hasil rights issue via Penawaran Umum Terbatas (PUT) II pada Desember 2022. Kala itu, GIAA memperoleh meraih Rp 7,77 triliun.
Prasetio menjelaskan untuk belanja modal alias capital expenditure (capex) GIAA akan berasal dana PMN tersebut. Kebanyakan dipakai untuk restorasi pesawat yang diistirahatkan alias grounded.
"Untuk restorasi kami dibantu pemerintah dengan PMN sebesar Rp 7,5 triliun, belanja modalnya berasal dari PMN itu," pungkas dia. (Kontan/Aris Nurjani)