Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Saham First Republic Bank ditutup anjlok 50 persen pada Selasa pekan ini waktu setempat imbas kliennya menarik sekira 102 miliar dolar Amerika Serikat (AS) deposito pada kuartal pertama tahun ini.
Jumlah tersebut lebih dari setengah dana pihak ketiga yang dipegang perusahaan pada akhir tahun lalu senilai 176 miliar dolar AS.
Pengamat dan praktisi sustainable finance Rizky Wisnoentoro mengatakan, situasi ketidakpastian terhadap perbankan AS masih belum usai.
Baca juga: Gelontorkan 72 Miliar Dolar, First Citizens Resmi Akuisisi Silicon Valley Bank yang Bangkrut
"Dalam konteks sustainable finance, kondisi volatile pasca pandemi masih akan terjadi setidaknya sampai dua dekade ke depan.
Tidak hanya di AS, tapi secara global," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribunnews.com, Rabu (26/4/2023).
Dia mengungkapkan, dari isu yang mengemuka, kondisi First Republic Bank pun masih dalam bagian dari rangkaian itu.
"Dari mulai kebijakan hawkish atau agresif yang diterapkan, sampai ke kekhawatiran nasabah atas keamanan dananya.
Inovasi produk, seperti interest-only loan yang diimplementasikan oleh FRC (First Republic Bank), ataupun instrumen bond, tetap harus memperhitungkan ketahanan terhadap kondisi volatile jangka panjang," katanya.
Belum lagi, lanjut Rizky, ditambah kondisi geopolitik ekonomi yang berkembang sebagai eskalasi dari ketegangan antar blok dunia.
Baca juga: JPMorgan Kembali Lakukan PHK, 30 Bankir Asal Asia Pasifik Jadi Korban
Sementara untuk solusinya untuk konteks FRC, dirinya pribadi masih cenderung kepada solusi komersial ketimbang bailout atau pemerintah AS memberikan bantuan keuangan.
"Dalam arti, pemerintah mendorong investor atau lender besar untuk membeli aset First Republic, tapi ini mungkin terutama hanya cocok untuk jangka pendek. Sedangkan di jangka panjang, yang menjadi tuntutan adalah ketahanan dari banknya itu sendiri," pungkasnya.