Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Fraksi Demokrat DPR Irwan Fecho menyebut, pada peringatan Hari Buruh 2023, para buruh telah mendapatkan kado buruk yakni berupa Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
Menurut Irwan, UU Ciptaker kian menghadirkan kesengsaraan bagi para buruh.
"Siapa sangka di Hari Buruh 2023 ini, para buruh mendapatkan kado buruk berupa perlindungan yang dilemahkan, aspirasi yang diabaikan, dan lingkungan yang semakin rusak," papar Irwan dalam pernyataannya kepada Tribunnews, Senin (1/5/2023).
Baca juga: 7 Tuntutan Buruh di Hari Buruh 2023, Bahas Omnibus Law hingga Tolak Upah Murah
"Ada tiga hal yang menjadikan UU Cipta Kerja adalah kado buruk," sambungnya.
Pertama, UU Cipta Kerja melemahkan perlindungan buruh karena mengubah beberapa ketentuan dalam undang-undang ketenagakerjaan yang sebelumnya justru melindungi hak-hak buruh.
Beberapa perubahan yang menjadi polemik antara lain pengurangan pesangon, penyesuaian upah minimum, dan perubahan dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
"Ini justru melemahkan perlindungan bagi buruh dan mengecilkan hak-hak mereka," jelas Irwan.
Kedua, pengabaian aspirasi buruh karena dalam proses pembahasan dan pengesahan UU Cipta Kerja ini, banyak pihak merasa bahwa aspirasi dan keberatan dari buruh tidak diakomodasi dengan baik.
Hal ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah lebih memprioritaskan kepentingan pengusaha dibandingkan kepentingan buruh.
Dan yang terakhir, UU Cipta Kerja merusak lingkungan dan sosial atas nama kemudahan izin investasi dan pembangunan.
Menurut Irwan, deregulasi yang dilakukan dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif, seperti pengurangan proses perizinan, akan memicu kerusakan lingkungan dan konflik sosial.
"Hal ini akan berdampak pada kondisi hidup para buruh yang akan terkena imbas dari kebijakan tersebut," pungkas Irwan.
Desakan dari Buruh
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) mengatakan, peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day tahun 2023 akan bisa dijadikan momentum untuk menyatukan semua kekuatan buruh melakukan perlawanan terhadap Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
Menurut Mirah, kebijakan yang tertuang dalam aturan tersebut sangat merugikan pekerja dan rakyat Indonesia.
"Konsistensi perlawanan dan penolakan terhadap UU Cipta Kerja menjadi isu penting yang disuarakan oleh Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia dalam memperingati May Day tahun 2023," ucap Mirah kepada Tribunnews, Senin (1/5/2023).
Ia menilai Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum bersungguh-sungguh dalam malaksanakan amanat Undang Undang Dasar 1945, Pasal 27 ayat 2.
“Dari situ dikatakan, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan," ucap Mirah.
Baca juga: Peringatan Hari Buruh Internasional, KSP: Presiden Selalu Dengarkan Aspirasi Buruh
"Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) tersebut, setidaknya terdapat dua kewajiban Negara yang harus dipenuhi oleh Pemerintah, yaitu memberikan pekerjaan dan memberikan penghidupan, yang keduanya harus layak bagi kemanusiaan," sambungnya.
Dirinya kembali melanjutkan, bukti paling kongkrit minimnya keberpihakan Pemerintah dan DPR terhadap nasib pekerja, adalah tetap dipaksakannya UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 oleh Mahkamah Konstitusi (MK) telah dinyatakan cacat secara formil dan inkonstitusional bersyarat.
Ia mengatakan, alih-alih mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi dan melakukan perbaikan atas UU Cipta Kerja, pada 30 Desember 2022, Presiden Joko Widodo justru mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
"Peran DPR yang seharusnya memperjuangkan aspirasi rakyat, ternyata justru lebih berpihak kepada kepentingan pemodal atau investor, dan tidak lebih sebagai stempel bagi Pemerintah," pungkas Mirah.